Yogyakarta:
Subsidi bahan bakar minyak sudah melampaui batas kewajaran, terutama pada 2011.
"Pemerintah menetapkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp129,7
triliun pada APBN Perubahan 2011, tetapi realisasinya mencapai Rp160 triliun,
meningkat sebesar 23,4 persen," kata peneliti dari Penelitian dan
Pelatihan Ekonomika dan Bisnis Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta, Rimawan Pradiptyo.
Menurut
Rimawan, ketidakwajaran itu terjadi karena konsep subsidi yang salah, yakni
penerapan pada komoditas dan bukan pada individu atau kelompok sasaran.
Pengawasan penerapan aturan subsidi BBM ini sangat lemah selama ini.
"Akibatnya,
subsidi salah sasaran, karena subsidi lebih banyak dinikmati rumah tangga kaya
daripada rumah tangga miskin," katanya. Sebagai gambaran, pemakaian BBM
jenis premium yang dijual di bawah harga keekonomian, lebih banyak dinikmati
kalangan menengah yang memiliki mobil berusia relatif muda lebih dari satu unit
per keluarga.
Di
sisi lain, tekanan ekspansi dan penetrasi pasar dari penyalur mobil sudah
sangat deras terjadi yang diperkuat kenyataan kondisi dan rancang bangun sistem
angkutan massal yang acak-acakan. Berbagai skema pembelian mobil secara kredit
melalui leasing sangat memudahkan pembeli sementara daya dukung jalan sudah
sangat pincang.
Ia
mengatakan, subsidi BBM itu juga menghambat pemerintah dalam penggunaan
anggaran untuk program strategis seperti program pengentasan masyarakat miskin,
pembangunan infrastruktur, dan pembangunan daerah.
"Tentu
saja tidak ada pelaku ekonomi yang ingin subsidi BBM yang telah dinikmati
bertahun-tahun akan hilang. Pada kasus kesalahan alokasi subsidi BBM, rumah
tangga dihadapkan pada pilihan antara 'tidak enak' atau 'lebih tidak
enak'," katanya.
Menurut
dia, hasil penelitiannya menunjukkan pilihan kebijakan yang paling dapat
diterima rumah tangga adalah kebijakan penghapusan subsidi bertahap dengan
realokasi untuk program alokasi spesifik.
Di
sisi lain, pilihan yang paling tidak dapat diterima rumah tangga adalah
kebijakan penghapusan subsidi langsung dengan realokasi untuk pembayaran utang
pemerintah dan program pemerintah lainnya atau alokasi nonspesifik.
Selain
itu, masyarakat yang tidak memiliki kendaraan bermotor, ternyata lebih
"berani" mengambil opsi penghapusan subsidi BBM secara langsung.
Ia
mengatakan, hal itu bisa dipahami karena bagi mereka yang tidak memiliki
kendaraan bermotor, penghapusan subsidi BBM tidak berdampak langsung kepada
mereka.
"Skema
penghapusan subsidi BBM tidak terkait dengan subsidi minyak tanah, seperti pada
2005 dan 2008, sehingga dampak langsung ke rumah tangga yang tidak memiliki
kendaraan bermotor cenderung minimum," katanya.
Rimawan
bersama peneliti lain dari Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB)
Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM) Gumilang Aryo
Sahadewo melakukan penelitian mengenai penurunan subsidi BBM dari perspektif
rumah tangga.(Ant/ICH)
Sumber:
Metrotvnews.com
0 komentar:
Posting Komentar