Oleh: Maya Astuti
Mengenal istilah privatisasi dalam masalah sosial, agaknya pendengaran
kita merasa sedikit sensitif. Karena kaum sosialis menganggap privatisasi ini
sebagai suatu hal yang negatif. Hal demikian terjadi karena ia memberikan
layanan penting untuk publik kepada sektor privat yang akan mengilangkan
pengontrolan dari publik, hal ini mengakibatkan kualitas layanannya menjadi
buruk. Dalam arti sempitnya seperti mengindividualkan
hal umum menjadi milik perorangan. Apalagi publik mendengar isu-isu belakangan
ini tentang Privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara).
Istilah ini memang telah banyak dikenal oleh masyarakat. Namun,
jujur harus diakui, pemahaman mayoritas publik tentang privatisasi ini masih
dalam pemetaan yang sempit. Kebanyakan publik menganggap bahwa privatisasi BUMN
bagaikan swastanisasi―menjual kepemilikan saham pemerintah kepada swasta. Metodenya
pun bisa bervariasi, mulai dari yang paling lengkap atau bebas (melalui divestasi
100% kepemilikan saham pemerintah ke swasta) atau dengan privatisasi parsial. Padahal
sesungguhnya tidaklah demikian. Privatisasi dalam arti yang luas, tidak sekedar
berupa privatisasi material (material
privatization) melalui transformasi kepemilikan (transfer of ownership).
Privatisasi BUMN tidak hanya didefinisikan sebagai pemindahan atau
penjualan aset/kepemilikan, namun juga mencakup transformasi organisasi,
fungsi, maupun aktivitas BUMN kepada swasta. Yang ini berarti mencakup
penerapan protokol pasar modal (protocol
capital market), kebijakan joint
venture antara BUMN dan swasta, konsesi, sewa menyewa, kontrak manajemen, dan
beberapa instrumen khusus lainnya. Hakikinya, tujuan strategis dari privatisasi
ini untuk meningkatkan efisiensi produktif BUMN dan mengurangi
halangan-halangan yang menghambat terselenggaranya efisiensi dan produktifitasnya.
Dan konsep privatisasi BUMN dalam arti luas inilah yang hendak dikembangkan
oleh Menteri BUMN.
Pada isu-isu yang booming
saat ini dikabarkan bahwa Menteri BUMN akan melepas Garuda ke
investor-investor. Spontan saja, akibat pemberitaan yang kurang lengkap dan
akurat tersebut banyak reaksi-reaksi muncul silih berganti. Persepsi publik
yang muncul adalah Menteri BUMN akan melepas mayoritas kepemilikan Pemerintah
di Garuda kepada swasta asing.
Kalau kita kembalikan ke konsep privatisasi BUMN secara utuh,
Garuda memang dapat diprivatisasikan. Akan tetapi yang jadi masalahnya,
seberapa besar derajat privatisasi yang akan diterapkan terhadap Garuda, apakah
100% kepemilikan dipindahkan ke sektor swasta, ataukah hanya sebagian
parsialnya saja. Ini yang belum banyak diketahui oleh publik. Maksud bahwa
Garuda akan dilepas bukan berarti pemerintah akan melepas kepemilikan mayoritas
saham Pemerintah di BUMN tersebut. Karena privatisasi terhadap Garuda dapat
dilakukan melalui aliansi strategis tanpa harus melepas mayoritas kepemilikan
saham pemerintah secara utuhnya. Sebenarnya langkah ini penting bagi Garuda,
karena dengan membuka kesempatan diri terhadap financial investor
ataupun airline company, hal itu bisa positif bagi adanya culture
migration di tubuh Garuda.
Sebenarnya dibalik pengadaan privatisasi, ada harapan yang
mendalam untuk negeri ini, yaitu privatisasi BUMN diharapkan dapat menutupi defisit
APBN. Hal ini berarti bahwa harga saham merupakan variabel yang sangat penting untuk mendapatkan
perhatian besar dalam proses privatisasi BUMN. Harga saham
harus diperhatikan dalam kaitannya untuk mengejar target perolehan dana dalam
rangka menutup defisit APBN.
Namun perlu juga untuk dipahami bahwa privatisasi hanyalah salah
satu alat (tool) dari sekian banyak alat untuk menyehatkan BUMN. Di
samping privatisasi, terdapat banyak alat lain yang dapat digunakan untuk
menyehatkan BUMN. Intinya, penyehatan BUMN tidak terbatas dengan privatisasi
saja sejatinya. Dengan demikian, sudah sewajarnya kita meletakkan isu
privatisasi BUMN pada porsi yang sepatutnya. Wal-Lâhu A’lamu bish-Shawâb...
0 komentar:
Posting Komentar