Sabtu, 24 Maret 2012

Menimbang Plus-Minus Accrual Basis dalam Kacamata Syariah

(Telaah Konferensi IFRS Sebagai Acuan Akuntansi Nasional)
Oleh: A. Munjil Anam[1]

2012. Pada tahun ini, Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) memiliki agenda besar, sebuah langkah konvergensi konsep akuntansi dengan menjadikan IFRS (International Financial Reporting Standard) sebagai rujukan utama. Alasannya sedernaha; dengan menjadikan IFRS sebagai rujukan utama, diharapkan dapat menarik minat investor asing untuk menginvestakan dananya di Indonesia.
Penyusunan IFRS sendiri baru dilakukan oleh IASB (International Accounting Standars Board) pada pertengahan bulan September 2011 lalu. Pada kegiatan yang sebenarnya acara tahunan IASB ini, dihadiri oleh sekitar 150 peserta yang terdiri dari penyusun standar akuntansi dari 59 negara, termasuk Indonesia yang diwakili oleh IAI.
Langkah konvergensi ini sebenarnya langkah yang brilian, langkah untuk lebih mengaktualisasikan perusahaan Indonesia di kancah internasional. Namun masalahnya kembali mengemuka ketika accrual basis[2] yang menjadi kecenderungan IFRS dalam metode pelaporannyaterutama jika dikaitkan dengan ekonomi Islam seperti perbankan syariah.
Seperti halnya ketika Pernyataan Standar Akuntasi Keuangan Syariah (PSAKS) No. 59 tentang Akutansi Perbankan Syariah disahkan pada 01 Mei 2002 lalu, banyak kalangankhususnya praktisi dan pemikir syariahyang kemudian mengkritisi pengesahaan ini dengan alasan bahwa aplikasinya lebih cenderung kepada konsep konvensional.
Mengapa demikian? Untuk menjawab itu, mari kita lanjutkan dengan terlebih dahulu memahami beberapa kelemahan-kelemahan accrual basis sebagai standar akuntasi syariah.
Accrual Basis (+/-)
Sederhananya, dalam metode accrual basis, semua pendapatan dan kewajiban yang diakui sekalipun belum terjadi ‘dicatat’ dalam laporan akuntansi. Contoh komponen biaya pada accrual basis misalnya biaya penyusutan, biaya sewa, biaya dibayar di muka, biaya yang sudah jatuh tempo tapi pembayarannya belum diterima.
Metode penggunaan accrual basis mungkin lebih tepat untuk penghitungan kewajiban, namun dengan melihat periode kewajiban. Hal ini sesuai dengan perintah melakukan pencatatan untuk setiap transaksi (khususnya utang piutang) yang dinyatakan dalam al-Qur’an: “Hai orang-orang yang beriman apabila kalian melakukan transaksi secara utang untuk masa yang akan datang maka catatkanlah (bukukanlah)...” (QS. al-Baqarah [2]:282)
Dalam ayat tersebut seakan terlihat memberikan panduan mencatat suatu transaksi secara accrual basis, terlebih lafaz ‘faktubûh’ diartikan dengan ‘bukukanlah’. Dalam bahasa akuntansi ‘membukukan’ berarti mengakui sebagai pendapatan. Metode accrual basis ini juga seperti yang pernah dilakukan semasa Khalilfah ‘Utsman bin ‘Affan, di mana piutang (yang belum diterima kreditur) dapat diperhitungkan sebagai objek zakat. Sebagian fuqaha menyetujui cara ini sebagai langkah ihtiyâth (berhati-hati) dan tazkiyah (penyucian harta).
Prinsip accrual basis ini semakin mendapat argumen ketika kita mengamati bahwa pihak yang diperintah (mukhatab) dalam ayat tersebut adalah pihak kreditur dan debitur. Dari perspektif akuntansi hal ini dapat berarti pendapatan dan biaya dapat diakui secara accrual basis.
Tapi, apabila kita mencoba untuk mengaitkan antara surah al-Baqarah (2:282) dengan surah Lukman (31:50), kita melihat indikasi accrual basis (khususnya pendapatan) tidak diperkenankan. “Dan tidaklah seorangpun tahu apa yang akan diusahakannya besok”. Untuk memperkuat hal itu sebagian ulama menyatakan bahwa perintah pada Q.S. al-Baqarah ayat 2:282 hanya sebatas ‘mencatat’ transaksi’ bukan ‘mengakui’ perolehannya.
Namun, tidak berarti metode ini lebih baik daripada metode cash basis[3]. Apalagi terlebih dalam unsur transparansi, keadilan dan kejujuran. Patut diingat, bahwa argumentasi syariah yang membolehkan pencatatan accrual basis berlaku untuk para pihak yang terlibat langsung dalam transaksi individu, di mana risk and return-nya ditanggung secara individual langsung.
Bagaimana dengan halnya bank syariah? Posisi bank syariah hanya merupakan pemegang amanah (mudhârib) dari share holders dan pihak ketiga. Ia harus menyampaikan dan melaporkan keuangannya kepada para pihak secara terbuka, riil, bertanggung jawab dan menghindari window dressing.
Mengamati norma akuntansi syariah di atas dan karakter bank syariah yang beroperasi atas prinsip bagi hasil (pada sisi funding) serta produk jual beli, sewa dan administrasi yang menggunakan prinsip selain bagi hasil (pada sisi lending) maka kerangka dasar penyajian laporan bank syariah akan berbeda dengan bank konvensional.
Sedangkan, penghitungan pendapatan untuk tujuan bagi hasil sangat tepat dengan menggunakan dasar kas atau cash basis. Tidak hanya untuk pendapatan bagi hasil tetapi juga pendapatan jual beli dan sewa. Metode penghitungan pendapatan dengan cash basis dapat menutupi lubang-lubang manipulasi yang dapat dilakukan manajemen dan nasabah mengetahui serta menilai secara riil karena pendapatan yang terealisasi saja yang dicatat.
Dalam sejarahnya, accrual basis kerap kali memberikan peluang untuk terjadinya loop hole yang mengarah untuk terjadi korupsi, penggelembungan dana yang tidak nyata dan kenakalan lainnya. Terbukti, pada kasus Enron yang menggelembungakan laba dengan hanya ‘mengakui’ pendapatan. Di sinilah mengapa kemudian banyak kalangan yang mengkritik dan kadang bersikap apatis atas penerepan accrual basis dalam standar pelaporan akuntansi.
 Dus, dari uraian singkat di atas, dapat ditarik sebuah konklusi dilematis yang sederhana; Akan IFRS yang cenderung menggenukan accrual basis akan masih tetap dijadikan acuan untuk menggaet investor asing, atau menghindarinya dengan tujuan untuk menghindari loop hole dan menyesuaikan dengan sistem cash basis yang lebih sesuai dengan ekonomi Islam? Wal-Lâhu A’lamu bish-Shawâb...


[1] Mahasiswa Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia jurusan Akuntasi Islam (AI-B), S.1014.194
[2] Accrual basis accounting; income is reported in the fiscal period it is earned, regardless of when it is received, and expenses are deducted in the fiscal period they are incurred, whether they are paid or not
[3] cash basis accounting, revenues are recorded when cash is actually received and expenses are recorded when they are actually paid (no matter when they were actually invoiced)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes