Sabtu, 24 Maret 2012

Menimbang Plus-Minus Accrual Basis dalam Kacamata Syariah

(Telaah Konferensi IFRS Sebagai Acuan Akuntansi Nasional)
Oleh: A. Munjil Anam[1]

2012. Pada tahun ini, Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) memiliki agenda besar, sebuah langkah konvergensi konsep akuntansi dengan menjadikan IFRS (International Financial Reporting Standard) sebagai rujukan utama. Alasannya sedernaha; dengan menjadikan IFRS sebagai rujukan utama, diharapkan dapat menarik minat investor asing untuk menginvestakan dananya di Indonesia.
Penyusunan IFRS sendiri baru dilakukan oleh IASB (International Accounting Standars Board) pada pertengahan bulan September 2011 lalu. Pada kegiatan yang sebenarnya acara tahunan IASB ini, dihadiri oleh sekitar 150 peserta yang terdiri dari penyusun standar akuntansi dari 59 negara, termasuk Indonesia yang diwakili oleh IAI.
Langkah konvergensi ini sebenarnya langkah yang brilian, langkah untuk lebih mengaktualisasikan perusahaan Indonesia di kancah internasional. Namun masalahnya kembali mengemuka ketika accrual basis[2] yang menjadi kecenderungan IFRS dalam metode pelaporannyaterutama jika dikaitkan dengan ekonomi Islam seperti perbankan syariah.
Seperti halnya ketika Pernyataan Standar Akuntasi Keuangan Syariah (PSAKS) No. 59 tentang Akutansi Perbankan Syariah disahkan pada 01 Mei 2002 lalu, banyak kalangankhususnya praktisi dan pemikir syariahyang kemudian mengkritisi pengesahaan ini dengan alasan bahwa aplikasinya lebih cenderung kepada konsep konvensional.
Mengapa demikian? Untuk menjawab itu, mari kita lanjutkan dengan terlebih dahulu memahami beberapa kelemahan-kelemahan accrual basis sebagai standar akuntasi syariah.
Accrual Basis (+/-)
Sederhananya, dalam metode accrual basis, semua pendapatan dan kewajiban yang diakui sekalipun belum terjadi ‘dicatat’ dalam laporan akuntansi. Contoh komponen biaya pada accrual basis misalnya biaya penyusutan, biaya sewa, biaya dibayar di muka, biaya yang sudah jatuh tempo tapi pembayarannya belum diterima.
Metode penggunaan accrual basis mungkin lebih tepat untuk penghitungan kewajiban, namun dengan melihat periode kewajiban. Hal ini sesuai dengan perintah melakukan pencatatan untuk setiap transaksi (khususnya utang piutang) yang dinyatakan dalam al-Qur’an: “Hai orang-orang yang beriman apabila kalian melakukan transaksi secara utang untuk masa yang akan datang maka catatkanlah (bukukanlah)...” (QS. al-Baqarah [2]:282)
Dalam ayat tersebut seakan terlihat memberikan panduan mencatat suatu transaksi secara accrual basis, terlebih lafaz ‘faktubûh’ diartikan dengan ‘bukukanlah’. Dalam bahasa akuntansi ‘membukukan’ berarti mengakui sebagai pendapatan. Metode accrual basis ini juga seperti yang pernah dilakukan semasa Khalilfah ‘Utsman bin ‘Affan, di mana piutang (yang belum diterima kreditur) dapat diperhitungkan sebagai objek zakat. Sebagian fuqaha menyetujui cara ini sebagai langkah ihtiyâth (berhati-hati) dan tazkiyah (penyucian harta).
Prinsip accrual basis ini semakin mendapat argumen ketika kita mengamati bahwa pihak yang diperintah (mukhatab) dalam ayat tersebut adalah pihak kreditur dan debitur. Dari perspektif akuntansi hal ini dapat berarti pendapatan dan biaya dapat diakui secara accrual basis.
Tapi, apabila kita mencoba untuk mengaitkan antara surah al-Baqarah (2:282) dengan surah Lukman (31:50), kita melihat indikasi accrual basis (khususnya pendapatan) tidak diperkenankan. “Dan tidaklah seorangpun tahu apa yang akan diusahakannya besok”. Untuk memperkuat hal itu sebagian ulama menyatakan bahwa perintah pada Q.S. al-Baqarah ayat 2:282 hanya sebatas ‘mencatat’ transaksi’ bukan ‘mengakui’ perolehannya.
Namun, tidak berarti metode ini lebih baik daripada metode cash basis[3]. Apalagi terlebih dalam unsur transparansi, keadilan dan kejujuran. Patut diingat, bahwa argumentasi syariah yang membolehkan pencatatan accrual basis berlaku untuk para pihak yang terlibat langsung dalam transaksi individu, di mana risk and return-nya ditanggung secara individual langsung.
Bagaimana dengan halnya bank syariah? Posisi bank syariah hanya merupakan pemegang amanah (mudhârib) dari share holders dan pihak ketiga. Ia harus menyampaikan dan melaporkan keuangannya kepada para pihak secara terbuka, riil, bertanggung jawab dan menghindari window dressing.
Mengamati norma akuntansi syariah di atas dan karakter bank syariah yang beroperasi atas prinsip bagi hasil (pada sisi funding) serta produk jual beli, sewa dan administrasi yang menggunakan prinsip selain bagi hasil (pada sisi lending) maka kerangka dasar penyajian laporan bank syariah akan berbeda dengan bank konvensional.
Sedangkan, penghitungan pendapatan untuk tujuan bagi hasil sangat tepat dengan menggunakan dasar kas atau cash basis. Tidak hanya untuk pendapatan bagi hasil tetapi juga pendapatan jual beli dan sewa. Metode penghitungan pendapatan dengan cash basis dapat menutupi lubang-lubang manipulasi yang dapat dilakukan manajemen dan nasabah mengetahui serta menilai secara riil karena pendapatan yang terealisasi saja yang dicatat.
Dalam sejarahnya, accrual basis kerap kali memberikan peluang untuk terjadinya loop hole yang mengarah untuk terjadi korupsi, penggelembungan dana yang tidak nyata dan kenakalan lainnya. Terbukti, pada kasus Enron yang menggelembungakan laba dengan hanya ‘mengakui’ pendapatan. Di sinilah mengapa kemudian banyak kalangan yang mengkritik dan kadang bersikap apatis atas penerepan accrual basis dalam standar pelaporan akuntansi.
 Dus, dari uraian singkat di atas, dapat ditarik sebuah konklusi dilematis yang sederhana; Akan IFRS yang cenderung menggenukan accrual basis akan masih tetap dijadikan acuan untuk menggaet investor asing, atau menghindarinya dengan tujuan untuk menghindari loop hole dan menyesuaikan dengan sistem cash basis yang lebih sesuai dengan ekonomi Islam? Wal-Lâhu A’lamu bish-Shawâb...


[1] Mahasiswa Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia jurusan Akuntasi Islam (AI-B), S.1014.194
[2] Accrual basis accounting; income is reported in the fiscal period it is earned, regardless of when it is received, and expenses are deducted in the fiscal period they are incurred, whether they are paid or not
[3] cash basis accounting, revenues are recorded when cash is actually received and expenses are recorded when they are actually paid (no matter when they were actually invoiced)

Privatisasi BUMN

Oleh: Maya Astuti

Mengenal istilah privatisasi dalam masalah sosial, agaknya pendengaran kita merasa sedikit sensitif. Karena kaum sosialis menganggap privatisasi ini sebagai suatu hal yang negatif. Hal demikian terjadi karena ia memberikan layanan penting untuk publik kepada sektor privat yang akan mengilangkan pengontrolan dari publik, hal ini mengakibatkan kualitas layanannya menjadi buruk. Dalam arti sempitnya seperti  mengindividualkan hal umum menjadi milik perorangan. Apalagi publik mendengar isu-isu belakangan ini tentang Privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara).

Istilah ini memang telah banyak dikenal oleh masyarakat. Namun, jujur harus diakui, pemahaman mayoritas publik tentang privatisasi ini masih dalam pemetaan yang sempit. Kebanyakan publik menganggap bahwa privatisasi BUMN bagaikan swastanisasi―menjual kepemilikan saham pemerintah kepada swasta. Metodenya pun bisa bervariasi, mulai dari yang paling lengkap atau bebas (melalui divestasi 100% kepemilikan saham pemerintah ke swasta) atau dengan privatisasi parsial. Padahal sesungguhnya tidaklah demikian. Privatisasi dalam arti yang luas, tidak sekedar berupa privatisasi material (material privatization) melalui transformasi kepemilikan (transfer of ownership).

Privatisasi BUMN tidak hanya didefinisikan sebagai pemindahan atau penjualan aset/kepemilikan, namun juga mencakup transformasi organisasi, fungsi, maupun aktivitas BUMN kepada swasta. Yang ini berarti mencakup penerapan protokol pasar modal (protocol capital market), kebijakan joint venture antara BUMN dan swasta, konsesi, sewa menyewa, kontrak manajemen, dan beberapa instrumen khusus lainnya. Hakikinya, tujuan strategis dari privatisasi ini untuk meningkatkan efisiensi produktif BUMN dan mengurangi halangan-halangan yang menghambat terselenggaranya efisiensi dan produktifitasnya. Dan konsep privatisasi BUMN dalam arti luas inilah yang hendak dikembangkan oleh Menteri BUMN.

Pada isu-isu yang booming saat ini dikabarkan bahwa Menteri BUMN akan melepas Garuda ke investor-investor. Spontan saja, akibat pemberitaan yang kurang lengkap dan akurat tersebut banyak reaksi-reaksi muncul silih berganti. Persepsi publik yang muncul adalah Menteri BUMN akan melepas mayoritas kepemilikan Pemerintah di Garuda kepada swasta asing.

Kalau kita kembalikan ke konsep privatisasi BUMN secara utuh, Garuda memang dapat diprivatisasikan. Akan tetapi yang jadi masalahnya, seberapa besar derajat privatisasi yang akan diterapkan terhadap Garuda, apakah 100% kepemilikan dipindahkan ke sektor swasta, ataukah hanya sebagian parsialnya saja. Ini yang belum banyak diketahui oleh publik. Maksud bahwa Garuda akan dilepas bukan berarti pemerintah akan melepas kepemilikan mayoritas saham Pemerintah di BUMN tersebut. Karena privatisasi terhadap Garuda dapat dilakukan melalui aliansi strategis tanpa harus melepas mayoritas kepemilikan saham pemerintah secara utuhnya. Sebenarnya langkah ini penting bagi Garuda, karena dengan membuka kesempatan diri terhadap financial investor ataupun airline company, hal itu bisa positif bagi adanya culture migration di tubuh Garuda.

Sebenarnya dibalik pengadaan privatisasi, ada harapan yang mendalam untuk negeri ini, yaitu privatisasi BUMN diharapkan dapat menutupi defisit APBN. Hal ini berarti bahwa harga saham merupakan  variabel yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian besar dalam proses privatisasi BUMN. Harga saham harus diperhatikan dalam kaitannya untuk mengejar target perolehan dana dalam rangka menutup defisit APBN.

Namun perlu juga untuk dipahami bahwa privatisasi hanyalah salah satu alat (tool) dari sekian banyak alat untuk menyehatkan BUMN. Di samping privatisasi, terdapat banyak alat lain yang dapat digunakan untuk menyehatkan BUMN. Intinya, penyehatan BUMN tidak terbatas dengan privatisasi saja sejatinya. Dengan demikian, sudah sewajarnya kita meletakkan isu privatisasi BUMN pada porsi yang sepatutnya. Wal-Lâhu A’lamu bish-Shawâb...

Penyakit Tifus Akrab dengan Mahasiswa

Tipes (tifus) adalah suatu penyakit infeksi bakterial akut yang disebabkan oleh kuman Salmonella Typhi. Slamonella adalah suatu genus bakteri enterobakteria gram-negative berbentuk tongkat yang menyebabkan tifus, paratifus, dan penyakit foodborne.
Menurut sumber, secara garis besar, tanda dan gejala yang ditimbulkan oleh penyakit ini antara lain:
1.      Demam lebih dari seminggu. Siang hari biasanya terlihat segar namun menjelang malamnya demam tinggi.
2.      Lidah kotor. Bagian tengah berwarna putih dan pinggirnya merah. Biasanya seseorang akan merasa lidahnya pahit dan cenderung ingin makan yang asam-asam atau pedas.
3.      Mual berat sampai muntah. Bakteri Salmonella typhi berkembang biak di hati dan limpa, akibatnya terjadi pembengkalan dan akhirnya menekan lambung sehingga terjadi rasa mual, dikarenakan mual yang berlebihan, akhirnya makanan tidak bisa masuk secara sempurna dan biasanya keluar lagi lewat mulut.
4.      Diare. Sifat bakteri yang menyerang saluran cerna menyebabkan gangguan penyerapan cairan yang akhirnya terjadi diare, namun dalam beberapa kasus justru terjadi konstipasi (sulit buang air besar).
5.      Lemas, pusing, dan sakit perut. Demam yang tinggi menimbulkan rasa lemas, pusing. Terjadinya pembengkakan hati dan limpa menimbulkan rasa sakit di perut.
6.      Pingsan, tak sadarkan diri. Penderita umumnya lebih merasakan nyaman dengan berbaring tanpa banyak pergerakan, namun dengan kondisi yang parah seringkali terjadi gangguan kesadaran.
Inilah penyakit yang sedang sering melanda mahasiswa, khususnya mahasiswa angkatan 10 STEI Tazkia. Tercatat dalam Februari-Maret ini saja telah ada empat orang mahasiswa yang menjadi korban penyakit ini, mereka adalah Ibnu Ariansyah (AI-A) yang sempat dirawat di Rumah Sakit PMI Bogor, Fanny Himawan (AI-B) terkena gejala tifus, Dewi Kurnia Sari (AI-A) yang terpaksa pulang ke Bekasi untuk dirawat di rumah, Vicky Ramadhan (AI-B) yang dirawat inap di Rumah Sakit Pekalongan, dan yang terakhir Bazari Azhar Azizi (IEI) yang melakukan rawat jalan di kontrakan.
Berikut ada kiat-kiat agar terhindar dari penyakit tifus, dan semoga wabah penyakit ini stop cukup sampai disini saja :
1.      Menghindari konsumsi jajanan di pinggir jalan dan jika ingin mengkonsumsi telur pastikan benar-benar matang.
2.      Meningkatkan daya tahan tubuh dengan istirahat yang cukup ( tidur 7-8 jam/sehari), olahraga teratur 3-4 kali dalam seminggu selama 1 jam.
3.      Hindari makanan yang tidak higienis.
4.      Mencuci tangan sebelum makan.
Rasulullah pernah bersabda, “Orang mukmin yang kuat, lebih baik dari orang mukmin yang lemah.” Semoga bermanfaat. Wal-Lâhu A’lamu bish-Shawâb... [Khoiron]

Jumat, 23 Maret 2012

SOMALIA; SEJUTA KENANGAN YANG HILANG

Oleh: Usaid Fathurrahman

“Maah lapar...,” suara seorang anak balita yang masih kecil terdengar begitu lemah.
“Maaah hauuus...,” tidak  jauh dari posisi anak itu terdengar jeritan tertahan seorang anak balita, meminta seteguk air. Tubuhnya terlihat sangat kurus dan ringkih, tubuh kecil, hitam, dan hanya terbalut kulit tipis tanpa daging apalagi lemak yang membalut tubuhnya. Namun yang ada hanya tonjolan demi tonjolan tulang yang terlihat begitu sangat memprihatinkan.

***

Begitulah sekilas yang diceritakan oleh dr. T. Meaty Fransisca, yang sering disapa dengan Ibu Mae, beliau menceritakan pengalamannya selama dua minggu berada di sana bersama Pak Iqbal Setyarso (ACT) dengan tim MER-C.

S-O-M-A-L-I-A, sebuah negara di bagian Afrika yang saat ini sedang dilanda krisis kelaparan. Masa depan negara itu memang sangat menakutkan, sekitar 640.000 anak Somalia menderita gizi buruk akut. Para ibu yang menyusui bayinya tidak dapat mengkonsumsi gizi yang cukup. Kini ancaman kemusnahan berada di depan mata anak-anak yang menjadi generasi penerus bangsa Somalia ini.

Somalia... bukan sekedar krisis ekonomi, krisis keadilan dan perdamaian internal juga tidak dapat mereka miliki. Pertikaian slalu diintervensi negara-negara lain yang berkepentingan. Sampai perang sipil yang terjadi di Somalia mengakibatkan krisis ini berkepanjangan hingga saat ini. Ketika Somalia terlibat konflik denga Ethiopia pada tahun 1977, Uni Soviet membantu Ethiopia hingga Somalia kalah.

Pada tahun 2006 dan 2009 perang di Somalia kembali meletus, Amerika membacking Ethiopia yang menginvansi Somalia, peperangan berakhir denga penarikan tentara Ethiopia yang berujung kehilangan wilayah serta mengefektifkan kepemimpinan federal sementara Ethiopia. Memasuki abad 21 Somalia berungkali mengalami beberapa masalah lagi dengan masyarakat Internasional akibat aksi pembajakan yang berkembang di negara ini.

Aksi pembajakan di perairan Somalia meningkat sejak perang sipil beberapa tahun silam. Laporan PBB menyebutkan aksi pembajakan di Somalia ini sebagian di sebabkan  karena penangkapan ikan ilegal, penyebab lain banyak perahu asing yang membuang limbah sembarangan di perairan Somalia sehingga berimbas mengakibatkan matinya mata pencaharian nelayan Somalia.

Sahabat... Mereka adalah salah satu bagian dari kita, haruskah kita hanya dapat berdiam diri dan berpangku dagu darinya!? Tidak!

Jawabannya adalah kita harus makin merapatkan barisan untuk bersama mendukung dan membantu saudara kita di sana. Jika tidak dengan materi, fisik, kunjungan, kita bisa membantu mereka dengan menyelipkan doa di setiap salat kita, bahkan memanjatkan doa khusus untuk saudara-saudra kita di sepertiga malam terakhir. Dengan cucuran air mata dan rintihan tasbih semoga Allah swt. berkenan mendengarkan doa-doa kita.

Dahulu, umat Islam pernah mengalami bencana kelaparan pada tahun 18 H di masa Khalifah Umar bin Khaththab ra.. Saat itu beberapa orang Badui terancam nyawanya karena kelaparan dan wabah penyakit. Rakyat dari berbagai kawasan arab berkumpul di Madinah (Ibu Kota Khilafah) untuk mendapat jatah makanan.

Ketika cadangan makanan di Madinah menurun, Umar bin Khaththab ra. menulis surat kepada para wali (gubernur) di Mesir, Suriah, Palestina dan Irak untuk mengirim bantuan pangan, Para Gubernur segera mengirim kafilah yang penuh dengan makan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Umar bin Khattab ra. mengirim pegawainya di rute Irak, Palestina dan Suriah untuk mengambil makanan itu. Segera setelah itu mengirimkan makanan ke wilayah pedalaman. Tindakan ini menyelamatkan jutaan orang dari kelaparan.

Khalifah Umar bin Khattab ra. mengawasi langsung makan para pengungsi di Madinah yang jumlahnya lebih dari seratus ribu orang. Pada awal abad ke 19 H., kondisi mulai membaik. Khalifah dengan serius mengawasi rehabilitasi penduduk yang dipindahtempatkan.

Apa yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab sesungguhnya bisa dilaksanakan oleh kaum muslimin saat ini seandainya umat Islam memiliki Khalifah yang mempersatukan umat Islam. Khalifah akan segera mengirim surat dengan cepat ke wilayah negeri Islam lainnya yang kaya untuk membantu rakyat Somalia. Dengan transportasi dan komunikasi yang lebih canggih saat ini, masalah kelaparan ini akan segera bisa diatasi. Jadi persoalannya, bukanlah persoalan ekonomi, tapi persoalan politik! Wal-Lâhu A’lamu bish-Shawâb...

Menkeu: Kelebihan Konsumsi BBM Bisa Dibayar Tahun 2013

JAKARTA, Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan, pembayaran penambahan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang terjadi pada 2011 bisa dilakukan pada 2013. Pembayaran dari pemerintah ke Pertamina tersebut bisa tertunda tahun ini jika Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui.

"Kalau tadi itu (kenaikan subsidi BBM sebesar Rp 35 triliun) memang dibayarkan sesuai dengan kuota. Tapi, membayarnya jadi lebih besar karena harga ICP-nya tinggi. Tetapi kalau di over, kuota itu akan diaudit oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dulu. Setelah diaudit oleh BPK kita juga merujuk pada UU APBN yang Pasal 15," ujar Agus di DPR, Jakarta, Selasa (6/3/2012).

Audit oleh BPK ini sendiri, Agus menerangkan, diperkirakan baru akan selesai pada bulan Mei. Walau demikian, rencana pembayaran ini akan dimasukkan dalam RUU APBN Perubahan 2012. Pembahasan RUU ini diperkirakan akan selesai pada akhir Maret.
Jika DPR telah menyetujui RUU APBNP 2012 ini, baru pemerintah bisa membayarkan kelebihan kuota ini kepada Pertamina. Apabila tidak disetujui, maka pembayaran baru bisa dilakukan pada tahun 2013.

Akan tetapi, ia yakin rencana pembayaran bisa dicantumkan di APBNP 2012. "Tapi kalau seandainya di APBNP tidak tersedia, DIPA (daftar isian penggunaan anggaran)-nya tidak disetujui, ya nanti kita bayarkan di tahun 2013. Tetapi kan tujuannya untuk rakyat supaya tidak ada masalah di ekonomi kita," tambah Agus.

Untuk diketahui, pada 2011, realisasi konsumsi BBM bersubsidi mencapai 41,7 juta kiloliter. Sementara itu, kuota yang dipatok pada APBNP 2011 hanya 40,49 juta kiloliter. Hal ini membuat subsidi BBM melonjak.

Selain karena volume, melonjaknya subsidi juga turut dipengaruhi oleh naiknya harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) hingga 109,9 dollar AS per barrel dan nilai tukar rupiah yang melemah hingga 8.732. Dengan begitu anggaran subsidi BBM pun mencapai Rp 164,7 triliun dari yang seharusnya Rp 129,7 triliun.

Sumber: Kompas.com

Subsidi BBM 2011 Jebol, Anggota DPR Cium 'Aroma' Korupsi

Jakarta - Anggaran subsidi BBM di 2011 lalu jebol melewati target yang ditetapkan sehingga pemerintah harus nombok Rp 36 triliun. Anggota DPR mencium aroma korupsi.
Wakil Ketua Komisi VII dari Fraksi PDI-Perjuangan, Effendi Simbolon mengatakan langkah pemerintah mengucurkan dana triliunan rupiah untuk menutupi over kuota BBM bernuansa korupsi.

"Dari mana landasan hukumnya, apa legalitasnya, harus clear dulu," kata Effendi, dalam rapat kerja dengan Menteri ESDM, Menteri Keuangan, BPH Migas dan Pertamina, Selasa (6/3/2012).

Menurut Effendi, seharusnya Menteri ESDM harus membahas tambahan dana over kuota di Komisi VII DPR.

"Kalau tidak ada legalitasnya, konsekuensinya kami (DPR) hanya akan akui sesuai Kuota yang ditetapkan APBN 2012 yakni 40,9 juta KL, lalu kelebihannya siapa yang akan membayarkannya kepada Pertamina," ujar Effendi.

Kalau Begini, kata Effendi, keputusan sepihak ini bernuansa korupsi. "Ini bisa korupsi Pak, tidak ada landasannya, bahkan presiden pun tidak berhak ketok palu sepihak tambahan anggaran over kuota BBM, yang punya kewenangannya di sini (Komisi VII)," tegas Effendi.

Suasana makin memanas. Apalagi dengan datangnya Menteri Keuangan Agus Martowardojo yang sebetulnya bukan rekan kerja Komisi VII. "Saya ingin Menkeu menjelaskan apa saja legalitasnya, karena selama ini faktor over kuota dijadikan Menkeu untuk menaikkan harga BBM," kata Effendi.

Namun Menkeu, Agus Martawardojo langsung berinterupsi, di dalam interupsinya itu Agus meminta Effendi Simbolon agar jangan stress. "Pak Effendi jangan stress begitu, kita jangan negatif thinking begitu, kita harus beretika," ujar Agus.

Sumber: detikFinance.com

Subsidi BBM Lampaui Batas Kewajaran

Yogyakarta: Subsidi bahan bakar minyak sudah melampaui batas kewajaran, terutama pada 2011. "Pemerintah menetapkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp129,7 triliun pada APBN Perubahan 2011, tetapi realisasinya mencapai Rp160 triliun, meningkat sebesar 23,4 persen," kata peneliti dari Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Rimawan Pradiptyo.
Menurut Rimawan, ketidakwajaran itu terjadi karena konsep subsidi yang salah, yakni penerapan pada komoditas dan bukan pada individu atau kelompok sasaran. Pengawasan penerapan aturan subsidi BBM ini sangat lemah selama ini.

"Akibatnya, subsidi salah sasaran, karena subsidi lebih banyak dinikmati rumah tangga kaya daripada rumah tangga miskin," katanya. Sebagai gambaran, pemakaian BBM jenis premium yang dijual di bawah harga keekonomian, lebih banyak dinikmati kalangan menengah yang memiliki mobil berusia relatif muda lebih dari satu unit per keluarga.
Di sisi lain, tekanan ekspansi dan penetrasi pasar dari penyalur mobil sudah sangat deras terjadi yang diperkuat kenyataan kondisi dan rancang bangun sistem angkutan massal yang acak-acakan. Berbagai skema pembelian mobil secara kredit melalui leasing sangat memudahkan pembeli sementara daya dukung jalan sudah sangat pincang.
Ia mengatakan, subsidi BBM itu juga menghambat pemerintah dalam penggunaan anggaran untuk program strategis seperti program pengentasan masyarakat miskin, pembangunan infrastruktur, dan pembangunan daerah.

"Tentu saja tidak ada pelaku ekonomi yang ingin subsidi BBM yang telah dinikmati bertahun-tahun akan hilang. Pada kasus kesalahan alokasi subsidi BBM, rumah tangga dihadapkan pada pilihan antara 'tidak enak' atau 'lebih tidak enak'," katanya.
Menurut dia, hasil penelitiannya menunjukkan pilihan kebijakan yang paling dapat diterima rumah tangga adalah kebijakan penghapusan subsidi bertahap dengan realokasi untuk program alokasi spesifik.

Di sisi lain, pilihan yang paling tidak dapat diterima rumah tangga adalah kebijakan penghapusan subsidi langsung dengan realokasi untuk pembayaran utang pemerintah dan program pemerintah lainnya atau alokasi nonspesifik.
Selain itu, masyarakat yang tidak memiliki kendaraan bermotor, ternyata lebih "berani" mengambil opsi penghapusan subsidi BBM secara langsung.
Ia mengatakan, hal itu bisa dipahami karena bagi mereka yang tidak memiliki kendaraan bermotor, penghapusan subsidi BBM tidak berdampak langsung kepada mereka.

"Skema penghapusan subsidi BBM tidak terkait dengan subsidi minyak tanah, seperti pada 2005 dan 2008, sehingga dampak langsung ke rumah tangga yang tidak memiliki kendaraan bermotor cenderung minimum," katanya.
Rimawan bersama peneliti lain dari Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB) Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM) Gumilang Aryo Sahadewo melakukan penelitian mengenai penurunan subsidi BBM dari perspektif rumah tangga.(Ant/ICH)

Sumber: Metrotvnews.com

Mewujudkan Otoritas Jasa Keuangan yang Efektif

Pilihan untuk menentukan model pengawasan industri keuangan sejatinya banyak. Tentunya, setiap model memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Sebab, pada dasarnya tidak ada model pengawasan industri keuangan di negara mana pun yang sempurna.

Tetap saja, setiap model pengawasan memiliki celah untuk terjadi suatu penyimpangan. Sejatinya, model pengawasan yang saat ini berlaku di Indonesia, telah cukup baik terutama dalam 10 tahun terakhir. Bank Indonesia (BI) selaku otoritas perbankan telah banyak melakukan perbaikan di bidang pengaturan dan pengawasan perbankan.

Begitu juga dengan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) juga telah menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor keuangan nonbank dengan baik. Namun demikian, celah tetap saja ada.

Kasus Bank Century adalah kasus terakhir yang secara nyata menunjukkan bahwa sistem pengawasan industri keuangan kita masih bisa ditembus. Setidaknya, terdapat empat model pengawasan yang berlaku di berbagai negara, yaitu pendekatan institusional (institutional approach), pendekatan terintegrasi (integrated approach), twin peaks approach, dan pendekatan fungsional (functional approach).

Setiap negara yang menganut pendekatan tertentu, tentunya juga telah menyesuaikan dengan karakteristik industri keuangan di negaranya. Dapat dikatakan bahwa model pengawasan sektor keuangan yang berlaku di Indonesia saat ini adalah lebih pada pendekatan institusional (institutional approach). Di mana, regulator yang mengawasi suatu institusi adalah didasarkan status badan hukum dari institusi yang diawasi tersebut.

Di Indonesia, bank diatur dan di awasi oleh BI, sedangkan perusahaan sektor keuangan nonbank diatur dan diawasi oleh Bapepam-LK. Kelebihan dari model ini adalah bahwa masing-masing otoritas menjadi lebih fokus dalam mengatur dan mengawasi industrinya.

Namun, model ini juga memiliki kekurangan, manakala terjadi suatu aktivitas yang sifatnya bersinggungan. Bila koordinasi tidak terjalin dengan baik, model ini berpotensi menimbulkan celah yang dapat dimanfaatkan pelaku industri untuk melakukan moral hazard.

Namun, sejak berlakunya Undang-Undang (UU) Nomor 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 22 November 2011, terlihat bahwa Indonesia akan bergeser dalam menerapkan model pengawasan terhadap industri keuangannya. Sesuai dengan Pasal 5 UU No 21/2011, terlihat bahwa OJK memiliki fungsi untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.

Terlihat bahwa melalui Pasal 5 tersebut Indonesia akan menerapkan model pengawasan secara terintegrasi (integration approach), yang berarti akan meninggalkan model pengawasan secara institusional. Dengan diberlakukannya UU No. 21/2011 ini, maka seluruh fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap sektor keuangan yang kini masih tersebar di BI dan Bapepam-LK akan menyatu ke dalam OJK.

Model pengaturan dan pengawasan secara terintegrasi ini memiliki kelebihan terutama dalam merespons tren industri keuangan yang semakin terintegrasi. Kini, kita bisa menyaksikan bahwa fenomena universal banking, atau bank yang bisa melayani segala jenis pelayangan keuangan sudah menjadi pemandangan umum. Dengan adanya OJK sebagai "super-regulatory body, nantinya masalah perizinan, pengaturan, pengawasan, dan exit policy akan lebih mudah, karena berada di satu atap.

Selain itu, OJK sebagai ”superregulatory body” juga memungkinkan pemanfaatan economies of scale dan economies of scope, sehingga pengawasannya menjadi lebih mendalam. Namun, OJK sebagai "superregulatory body" juga memiliki kelemahan. Terlalu luas lingkup kerja (pengaturan dan pengawasan) serta terlalu banyak industri yang diawasi, maka bila tidak didukung dengan sistem dan SDM yang andal, efektivitasnya dapat diragukan.

Buktinya sudah terlihat di depan mata. Akibat krisis global 2008, Pemerintah Inggris pada akhirnya harus membubarkan Financial Services Autority (OJK-nya Inggris). Pemerintah Inggris menyatakan bahwa OJK-nya dinilai telah gagal dalam mendeteksi krisis yang akhirnya meruntuhkan industri keuangan mereka. Kini, pemerintah Inggris akhirnya mengembalikan fungsi pengawasan perbankannya kepada Bank Sentral Inggris, Bank of England.

Model pengawasan sektor keuangan telah ditetapkan oleh DPR dan Pemerintah,dan akhirnya pilihan jatuh pada sistem OJK. Oleh karenanya, tidak pada tempatnya lagi kita memperdebatkan keberadaan OJK. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana agar OJK bisa bekerja dan menjalankan fungsinya dengan baik. Kita melihat bahwa tantangan yang akan dihadapi OJK ini tidak ringan, sekalipun nantinya akan didukung oleh SDM dan sistem yang berasal dari institusi yang berpengalaman (BI dan Bapepam-LK).

Tak dapat dipungkiri bahwa kekhawatiran dan ketidakpastian terhadap efektivitas OJK ini memang masih ada. Oleh karenanya, salah satu hal penting yang harus kita letakkan adalah bagaimana membangun kepercayaan (trust) bahwa OJK ini akan mampu menjalankan perannya secara baik.

Salah satu faktor yang harus dipenuhi untuk mewujudkan trust ini adalah dengan menempatkan orang-orang profesional yang memiliki kapabilitas, reputasi, integritas yang baik, serta memperoleh dukungan kuat dari stakeholders (BI,Pemerintah, dan DPR) sebagai anggota Dewan Komisioner OJK (DK OJK).

Semestinya, mereka yang akan duduk sebagai DK OJK adalah orang yang memiliki pengalaman dan pemahaman yang kuat, tidak hanya di tingkat microprudential (industri keuangan terkait), tetapi juga di tingkat macroprudential (relasi industri keuangan dengan stabilitas makro, fiskal, dan moneter). Saya berpendapat bahwa pertaruhan OJK ini sangat besar. Bila kita gagal membangun kepercayaan, kredibilitas OJK bisa jatuh.

Dan bila telah jatuh, upaya membangunnya kembali akan sulit. Oleh karenanya, jangan bermain api dengan masalah trust ini, dengan menempatkan orang-orang yang tidak tepat di OJK.

SUNARSIP
Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
(//ade
 
sumber : okezone.com

Sabtu, 17 Maret 2012

Tim STEI TAZKIA Rebut Juara 1 dan 3 dalam Pra-Temilnas


Jakarta – Hari Ahad (4/03/2012) merupakan sebuah langkah awal bagi tim STEI Tazkia dalam menghadapi Olimpiade Ekonomi Islam dalam rangkaian acara Temu Ilmiah Nasional (Temilnas) yang akan diselerenggarakan di Provinsi Riau, tepatnya di Kampus UIN Sultan Syarif Kasim (UIN SUSKA) pada pertengahan Maret mendatang sebagai tuan rumah. Sebelum para peserta dari kampus-kampus se-Jabodetabek diberangkatkan menuju Temilnas, diadakan sebuah agenda “warming up” atau persiapan bagi para peserta dari kampus masing-masing. Agenda ini ditujukan untuk dapat mengetahui seberapa besar persiapan para peserta sebelum diberangkatkan ke medan perjuangan di Temilnas.
Pra-Temilnas pada kali ini diadakan di Aula Kampus Akademi Pimpinan Perusahaan (APP), Jagakarsa, Jakarta Selatan. Acara ini merupakan sebuah simulasi kecil Olimpiade Ekonomi Islam yang nantinya akan dilaksanakan di UIN SUSKA. Sehingga, diharapkan para peserta dapat beradaptasi dengan model lomba yang akan diselenggarakan di Riau. Selain simulasi, acara dipadukan juga dengan Seminar Regional FoSSEI Jabodetabek, dan perkumpulan alumni Sharia Economist Training angkatan 11 yang dipimpin oleh Rikza Adhia Nada Rezki (Progres STEI TAZKIA), dan dikomandoi langsung oleh Koordinator Regional FoSSEI Jabodetabek, yaitu Dedi Usman (Universitas Muhammadiyah Jakarta).
Rangkaian acara dimulai dengan Seminar Regional dengan tema “OJK dan Masa Depan Industri Keuangan Syariah”. Pak Azis Budi Setiawan, dosen STEI SEBI sekaligus Tenaga Ahli RUU OJK Komisi 11 DPR RI, adalah yang berkesempatan sebagai pembiacara pada seminar kali ini. Saat ini beliau juga menjabat sebagai pengurus pusat Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI). Seminar dimulai pada pukul 09.00, dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh Pak Azis.
Dalam pemaparannya, beliau banyak menyinggung mengenai perkembangan perbankan nasional dan perbankan syariah saat ini. Selain itu, beliau juga menyinggung tentang peranan Bank Sentral (BI) dan juga Bapepam-LK, sebagai lembaga otoritas pengawas jasa keuangan, yang fungsinya masih belum optimal karena adanya pembatasan dalam wewenangnya terhadap lembaga yang diawasi. Sebagai contoh pada Bank Indonesia, terbatas pada perbankan, begitu juga Bapepam-LK yang terbatas pada Pasar Modal dan Lembaga Keuangan non-perbankan. Sehingga terkadang menyulitkan kedua lembaga tersebut apabila terdapat permasalahan yang melanda perbankan dan anak perusahaannya.
Rangkaian acara selanjutnya yaitu pra-Temilnas bagi utusan dari setiap KSEI yang diundang untuk menghadarinya. Terdapat utusan dari 10 kampus berbeda, yang mengikuti acara kali ini. Babak pra-Temilnas dibagi dalam tiga babak. Babak pertama adalah babak penyisihan yang berupa soal pilihan ganda dan essai yang dibagikan kepada setiap peserta yang hadir saat itu. Kemudian babak kedua adalah Semi Final berupa babak Cerdas Cermat. Dalam babak ini, 9 tim dengan nilai terbesar yang berhak untuk memasukinya. Dan ketiga Tim STEI Tazkia lolos hingga babak kedua, meski tim 2 dan tim 3 saling bertemu di babak Semi Final sesi 3, sehingga mengharuskan salah satu dari dua tim tersebut saling memperebutkan posisinya untuk melaju ke babak akhir, yaitu babak final. Dan babak ketiga yang merupakan babak final sekaligus penentuan juara, merupakan babak dengan studi kasus bagi setiap kelompok untuk dipresentasikan dihadapan dewan juri.
Persaingan antar peserta sedemikian sengitnya, laksana Olimpiade Ekonomi Islam yang sesungguhnya dalam Temilnas. Setiap kelompok berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi yang terbaik dalam acara ini. Dari 9 tim yang lolos ke babak Semifinal, 3 di antaranya adalah tim STEI Tazkia. Tim 1 terdiri dari: Widia Astuti, Eko Kurniadi, dan Rizal Rajib yang diwakilkan oleh Saiful Fahmi karena Rizal berhalangan hadir. Kemudian tim 2: Tiffany, Ria Budiarti, dan Miftahurrahmat, disusul oleh tim 3: Aisyah, Roipah, dan Radiatun Mardiah.
Dari ketiga tim tersebut, yang berhasil masuk ke babak final adalah tim 1 dan 3, untuk memperbutkan posisi pertama, kedua, dan ketiga dengan satu tim dari STEI SEBI. Setelah presentasi dan penilaian dari dewan juri, yang terdiri dari Bu Anita Priantina, M.Ec. (KaProdi Ilmu Ekonomi Islam STEI Tazkia) dan Pak Hendro Wibowo, S.E.I, MM (Dosen STEI SEBI dan Presnas KaFoSSEI). Dan keputusan terakhir adalah yang mendapatkan juara ketiga pada Olimpiade Ekonomi Islam pra-Temilnas adalah tim 3 STEI Tazkia.
Posisi kedua diraih oleh tim STIE SEBI. Pada akhirnya posisi pertam direbut oleh tim 1 STEI Tazkia. Dengan ini menunjukkan bahwa tim Tazkia telah menunjukkan tingkat hasil belajar selama ini, dan upaya yang telah mereka lakukan untuk mensukseskan lomba ini. Sehingga, harapan kedepannya seluruh tim dapat berusaha lebih maksimal serta dapat meraih prestasi yang membanggakan bagi almamaternya. Bravo STEI Tazkia! (Baz) 

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes