(Telaah Konferensi IFRS Sebagai Acuan
Akuntansi Nasional)
Oleh: A. Munjil Anam[1]
2012. Pada tahun ini, Ikatan
Akuntansi Indonesia (IAI) memiliki agenda besar, sebuah langkah konvergensi
konsep akuntansi dengan menjadikan IFRS (International Financial Reporting Standard)
sebagai rujukan utama. Alasannya sedernaha; dengan menjadikan IFRS sebagai
rujukan utama, diharapkan dapat menarik minat investor asing untuk menginvestakan
dananya di Indonesia.
Penyusunan IFRS sendiri baru
dilakukan oleh IASB (International Accounting Standars Board) pada
pertengahan bulan September 2011 lalu. Pada kegiatan yang sebenarnya acara
tahunan IASB ini, dihadiri oleh sekitar 150 peserta yang terdiri dari penyusun
standar akuntansi dari 59 negara, termasuk Indonesia yang diwakili oleh IAI.
Langkah konvergensi ini sebenarnya
langkah yang brilian, langkah untuk lebih mengaktualisasikan perusahaan
Indonesia di kancah internasional. Namun masalahnya kembali mengemuka ketika accrual
basis[2] yang
menjadi kecenderungan IFRS dalam metode pelaporannya―terutama jika dikaitkan
dengan ekonomi Islam seperti perbankan syariah.
Seperti halnya ketika Pernyataan
Standar Akuntasi Keuangan Syariah (PSAKS) No. 59 tentang Akutansi Perbankan
Syariah disahkan pada 01 Mei 2002 lalu, banyak kalangan―khususnya praktisi dan
pemikir syariah―yang kemudian mengkritisi pengesahaan ini dengan
alasan bahwa aplikasinya lebih cenderung kepada konsep konvensional.
Mengapa demikian? Untuk menjawab itu,
mari kita lanjutkan dengan terlebih dahulu memahami beberapa
kelemahan-kelemahan accrual basis sebagai standar akuntasi syariah.
Accrual Basis (+/-)
Sederhananya, dalam metode accrual
basis, semua pendapatan dan kewajiban yang diakui sekalipun belum terjadi ‘dicatat’
dalam laporan akuntansi. Contoh komponen biaya pada accrual basis misalnya
biaya penyusutan, biaya sewa, biaya dibayar di muka, biaya yang sudah jatuh
tempo tapi pembayarannya belum diterima.
Metode penggunaan accrual basis
mungkin lebih tepat untuk penghitungan kewajiban, namun dengan melihat periode
kewajiban. Hal ini sesuai dengan perintah melakukan pencatatan untuk setiap
transaksi (khususnya utang piutang) yang dinyatakan dalam al-Qur’an: “Hai
orang-orang yang beriman apabila kalian melakukan transaksi secara utang untuk
masa yang akan datang maka catatkanlah (bukukanlah)...” (QS. al-Baqarah [2]:282)
Dalam ayat tersebut seakan terlihat memberikan
panduan mencatat suatu transaksi secara accrual basis, terlebih lafaz ‘faktubûh’
diartikan dengan ‘bukukanlah’. Dalam bahasa akuntansi ‘membukukan’ berarti
mengakui sebagai pendapatan. Metode accrual basis ini juga seperti yang pernah
dilakukan semasa Khalilfah ‘Utsman bin ‘Affan, di mana piutang (yang belum
diterima kreditur) dapat diperhitungkan sebagai objek zakat. Sebagian fuqaha menyetujui
cara ini sebagai langkah ihtiyâth (berhati-hati) dan tazkiyah
(penyucian harta).
Prinsip accrual basis ini semakin
mendapat argumen ketika kita mengamati bahwa pihak yang diperintah (mukhatab) dalam
ayat tersebut adalah pihak kreditur dan debitur. Dari perspektif akuntansi hal
ini dapat berarti pendapatan dan biaya dapat diakui secara accrual basis.
Tapi, apabila kita mencoba untuk
mengaitkan antara surah al-Baqarah (2:282) dengan surah Lukman (31:50), kita
melihat indikasi accrual basis (khususnya pendapatan) tidak diperkenankan. “Dan
tidaklah seorangpun tahu apa yang akan diusahakannya besok”. Untuk memperkuat
hal itu sebagian ulama menyatakan bahwa perintah pada Q.S. al-Baqarah ayat 2:282
hanya sebatas ‘mencatat’ transaksi’ bukan ‘mengakui’ perolehannya.
Namun, tidak berarti metode ini lebih
baik daripada metode cash basis[3].
Apalagi terlebih dalam unsur transparansi, keadilan dan kejujuran. Patut
diingat, bahwa argumentasi syariah yang membolehkan pencatatan accrual basis
berlaku untuk para pihak yang terlibat langsung dalam transaksi individu, di mana
risk and return-nya ditanggung secara individual langsung.
Bagaimana dengan halnya bank syariah?
Posisi bank syariah hanya merupakan pemegang amanah (mudhârib) dari
share holders dan pihak ketiga. Ia harus menyampaikan dan melaporkan
keuangannya kepada para pihak secara terbuka, riil, bertanggung jawab dan
menghindari window dressing.
Mengamati norma akuntansi syariah di
atas dan karakter bank syariah yang beroperasi atas prinsip bagi hasil (pada
sisi funding) serta produk jual beli, sewa dan administrasi yang menggunakan
prinsip selain bagi hasil (pada sisi lending) maka kerangka dasar penyajian
laporan bank syariah akan berbeda dengan bank konvensional.
Sedangkan, penghitungan pendapatan
untuk tujuan bagi hasil sangat tepat dengan menggunakan dasar kas atau cash
basis. Tidak hanya untuk pendapatan bagi hasil tetapi juga pendapatan jual beli
dan sewa. Metode penghitungan pendapatan dengan cash basis dapat menutupi
lubang-lubang manipulasi yang dapat dilakukan manajemen dan nasabah mengetahui
serta menilai secara riil karena pendapatan yang terealisasi saja yang dicatat.
Dalam sejarahnya, accrual basis kerap
kali memberikan peluang untuk terjadinya loop hole yang mengarah untuk
terjadi korupsi, penggelembungan dana yang tidak nyata dan kenakalan lainnya.
Terbukti, pada kasus Enron yang menggelembungakan laba dengan hanya ‘mengakui’
pendapatan. Di sinilah mengapa kemudian banyak kalangan yang mengkritik dan
kadang bersikap apatis atas penerepan accrual basis dalam standar pelaporan
akuntansi.
Dus, dari uraian singkat di atas, dapat
ditarik sebuah konklusi dilematis yang sederhana; Akan IFRS yang cenderung
menggenukan accrual basis akan masih tetap dijadikan acuan untuk menggaet
investor asing, atau menghindarinya dengan tujuan untuk menghindari loop
hole dan menyesuaikan dengan sistem cash basis yang lebih sesuai dengan
ekonomi Islam? Wal-Lâhu A’lamu bish-Shawâb...
[1] Mahasiswa Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia jurusan Akuntasi
Islam (AI-B), S.1014.194
[2] Accrual basis accounting; income is reported in the fiscal period it
is earned, regardless of when it is received, and expenses are deducted in the
fiscal period they are incurred, whether they are paid or not
[3] cash basis accounting, revenues are recorded when cash is actually
received and expenses are recorded when they are actually paid (no matter when
they were actually invoiced)