Oleh: Amalina
Fauziah & Bazari Azhar Azizi
Mengingat
undang-undang yang ada sebelumnya dirasa tidak cukup untuk mengakomodir
perkembangan potensi zakat di Indonesia, maka Komisi VIII DPR RI merumuskan
undang-undang tentang pengelolaan zakat yang baru. Namun, sejak Undang-Undang No. 38
Tahun 1999 yang sebelumnya telah ada mengatur tentang Pengelolaan Zakat,
kemudian disusul oleh undang-undang baru yang telah sah diresmikan pada tanggal
20 Oktober 2011 lalu, malah menimbulkan kontroversi di kalangan
praktisi, akademisi, masyarakat, Lembaga Amil Zakat (LAZ), dan pihak yang
terkait (stake holder) lainnya.
Mulai dari kekhawatiran akan dibekukannya LAZ hingga kesan UU tersebut
mengerdilkan peran mandiri masyarakat dalam memberdayakan dana zakat.
Selain itu, hasil revisi UU zakat tersebut, telah
menghambat kinerja serta peran lembaga-lembaga zakat yang telah ada. Hal ini
disebabkan substansi yang terkandung dalam UU zakat tersebut menyatakan bahwa: “...setiap Lembaga
Amil Zakat yang ingin mendapatkan izin untuk menyalurkan, mendistribusikan dan
mendayagunakan zakat setidaknya harus terdaftar sebagai organisasi
kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah dan sosial.” Dari
sini telah jelas bahwa pemerintah ingin menyaring lembaga zakat yang telah ada
dengan persyaratan keanggotaan “Ormas Islam”. Padahal, bagi lembaga zakat
seperti Dompet Dhu’afa persyaratan seperti itu agak berat karena harus merevisi
ulang struktur dasar dan mengubah statusnya selama ini sebagai yayasan.
Di
samping motif-motif positif pemerintah, undang-undang tersebut seakan menyiratkan
makna ketidakpercayaan pemerintah terhadap eksistensi dan kualitas managemen LAZIS
non Ormas Islam dalam melaksanakan tugasnya selama ini. Ditambah lagi dengan
pemberian sanksi pidana satu tahun penjara dan dikenakan denda 50 juta rupiah kepada
pihak amil zakat yang menjalankan tugasnya tanpa izin pejabat yang berwenang.
Hal
ini dikhawatirkan akan berujung pada kriminalisasi terhadap lembaga-lembaga amil
zakat non pemerintah, seperti Dompet Dhu’afa dan badan amil zakat di
masjid-masjid yang notabene sudah bertahun-tahun menyalurkan dan
mendistribusikan zakat. Dan hal itu menjadi faktor yang membuat mereka semakin
terkekang dalam pelaksanaan tugas pokok mereka sebagai badan amil zakat.
Selain
itu, keraguan dan kekhawatiran pun mulai timbul di benak lembaga-lembaga amil
zakat non-ormas terhadap jaminan mutu sistem pelaksaanaan zakat yang ditawarkan
pemerintah, karena faktor belum adanya kejelasan mengenai kalimat “pejabat yang
berwenang” dalam pasal tersebut. Apakah yang dimaksud dengan pejabat yang
berwenang itu adalah BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) ataukah pejabat lain
yang ditunjuk oleh pemerintah? Lalu bagaimana jika ternyata pejabat tersebut
adalah berasal dari kalangan non muslim, atau orang-orang yang tidak mengerti
tentang tata cara pelaksanaan zakat? Jika
hal ini benar-benar terjadi, dampaknya sangat fatal bagi kesinambungan tata
pelaksanaan zakat selanjutnya, sehingga akan merusak tatanan syari’at zakat di
negeri ini.
Tidak
hanya itu, karakteristik tentang lembaga amil zakat yang harus terdaftar
sebagai organisasi kemasyarakatan Islam pun belum terinci pasti, dan standar
tata mekanisme pelaksanaan zakat dari undang-undang tersebut juga masih belum
jelas strukturnya dengan baik. Sehingga, sangat wajar jika lembaga-lembaga
non-pemerintah yang sudah berpengalaman dalam pendistribusian zakat selama
bertahun-tahun itu, belum bisa memberikan kepercayaan penuh kepada lembaga
zakat pemerintah yang berada di bawah naungan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas)
Islam dalam menjalankan tugas utamanya.
Dengan
demikian, tidak ayal jika peran aktif lembaga-lembaga zakat tersebut semakin
berkurang dalam mengambil andil praktik zakat di Indonesia, dan secara tidak
langsung kinerja lembaga-lembaga tersebut pun menjadi terhambat. Karena, disamping
faktor pembatasan dan persyaratan yang harus dipenuhi, telah terjadi krisis
kepercayaan dari masyarakat terhadap kinerja pemerintah yang belum bisa
menjamin kualitas dan hasil yang memuaskan baik dalam aspek perzakatan maupun
aspek pemerintahan lainnya. Maka dari itu, perlu adanya undang-undang tambahan
atau peraturan pemerintah yang menjelaskan secara gamblang mengenai mekanisme
dan tata cara pendistribusian zakat yang sesuai dengan syari’at Islam.
Jika
hal ini diabaikan maka besar kemungkinan stabilitas pelaksanaan zakat akan
mengalami penurunan sehingga dapat mempengaruhi kualitas pencapaian visi utama dalam
rangka menjunjung tinggi keadilan dan kemaslahatan umat melalui pemerataan
penyalurandan pengelolaan zakat.
Lalu
bagaimana dengan tanggapan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap peresmian UU’
zakat beberapa waktu lalu?
Dari
beberapa referensi yang berisi tentang tanggapan K.H. Ma’ruf Amin selaku ketua
umum Majelis Ulama Indonesia dan anggota-anggota MUI lainnya, terindikasi dari kutipan
di berikut ini, "Saya kira, hormatilah produk UU itu, nanti MUI akan
berikan rekomendasinya," kata Ma'ruf kepada Republika.co.id, Selasa (8/11).
Di sini
dapat disimpulkan bahwa beliau ingin masyarakat dan pihak-pihak yang terkait menyikapi
pengesahan UU Zakat yang baru ini dengan kepala dingin (lapang dada/respon yang
baik), sebagai bentuk sikap hormat dan saling menghargai. Namun, apabila
terdapat pihak yang tidak puas dengan hasil pengesahan tersebut, sebaiknya
menggunakan jalur judicial review
sehingga tidak merugikan salah satu pihak.
Untuk selanjutnya MUI akan mempelajari terlebih dahulu mengapa terjadi penolakan terhadap UU zakat. Kalau memang penolakan itu memiliki dasar yang kuat, dan berkaitan dengan maslahat bagi umat, maka MUI mendukung sepenuhnya dilakukan judicial review.
Untuk selanjutnya MUI akan mempelajari terlebih dahulu mengapa terjadi penolakan terhadap UU zakat. Kalau memang penolakan itu memiliki dasar yang kuat, dan berkaitan dengan maslahat bagi umat, maka MUI mendukung sepenuhnya dilakukan judicial review.
Tanggapan
yang dicontohkan MUI adalah sikap yang tepat, karena dengan kondisi saat ini
sangat dibutuhkan pikiran yang jernih dan respon yang beretika, untk mendapatkan
solusi yang maslahat serta mencegah dari perselisihan antara pemerintah selaku
penyusun dan masyarakat atau lembaga tertentu selaku pihak pelaksana. Oleh karena
itu, MUI mencari jalan tengah dengan menempuh jalan komunikasi/musyawarah
dengan pihak yang melakukan penolakan terhadap UU zakat dan pihak pemerintah
(DPR). Seiring dengan itu, MUI pun melakukan analisa yang
didasarkan pada nilai-nlai kemaslahatan dari pengesahan UU zakat tersebut,
sehingga dapat dijadikan sebagai bahan penentuan solusi yang tepat.
Kemudian
timbul pertanyaannya kembali; seberapa jauh dampak UU tersebut terhadap
masyarakat Islam Indonesia sebagai subyek zakat (muzakkÎ) sekaligus sebagai
obyek zakat (mustahiq)?
Di
sisi lain, adanya pengesahan Undang-Undang Zakat yang baru saja diparipurnakan oleh
DPR memiliki banyak nilai positif, seperti menjadikan
manajemen penyaluran zakat menjadi lebih efisien dan teratur. Tapi, tidak dapat
dipungkiri akan adanya kemungkinan terdapat oknum-oknum tertentu yang mengambil
keuntungan, karena jika zakat sudah masuk ke dalam sistem birokrasi, maka
peluang timbulnya korupsi akan semakin besar.
Ujung-ujungnya,
akan terjadi pengkhianatan terhadap para muzakkî selaku pemilik uang, danpraktik
kezaliman kepada para mustahiq karena ketidakmerataan
pendistribusian zakat. Untuk itu, lembaga pro rakyat yang bertugas mengawasi
dan mengontrol pelaksanaan pengelolaan zakat di lembaga-lembaga pemerintah sangat
dibutuhkan, agar tidak terjadi penyelewengan terhadap dana zakat.
Selain
itu, UU zakat ini akan mempersulit masyarakat dalam rangka menunaikan rukun
Islam yang keempat, yaitu kewajiban membayar zakat. Hal ini disebabkan karena hasil
revisi undang-undang tersebut menyatakan bahwa masyarakat diwajibkan melakukan pembayaran
zakat melalui para amil dari lembaga zakat yang terdaftar sebagai Organisasi
Kemasyarakatan Islam. Apabila dibiarkan begitu saja, dikhawatirkan akan
mengurangi sensitivitas para muzakkî terhadap kewajiban membayar zakat
yang akhirnya akan merusak kesinambungan prospek stabilitas zakat ke depannya.
Pada
akhirnya, kesinambungan antara pemerintah sebagai regulator penyusun UU Zakat
dan Lembaga Amil Zakat (LAZIS) sangat diperlukan. Konsolidasi antara
pihak-pihak tersebut dibutuhkan agar segala sesuatu yang diharapkan dapat
terlaksana sebagaimana mestinya. Sehingga kekhawatiran akan distribusi zakat
yang tidak merata, maupun kemungkinan penyelewengan terhadap dana zakat dapat
dihindari sedini mungkin. Dan kedepannya, diharapkan pengesahan undang-undang
tersebut sebagai langkah awal dalam pengentasan kemiskinan yang ada, karena
potensi zakat yang sedemikian besarnya tidak dapat dioptimalkan jika tidak ada
regulator maupun fasilitator yang mumpuni untuk merealisasikan hal-hal tersebut.
Wal-Lâhu A’lamu bish-Shawâb...
0 komentar:
Posting Komentar