Sabtu, 21 Januari 2012

UU ZAKAT; MENGHAMBAT KINERJA DAN MEMBATASI PERAN LEMBAGA ZAKAT NON-ORMAS (?)

Oleh: Amalina Fauziah & Bazari Azhar Azizi

Mengingat undang-undang yang ada sebelumnya dirasa tidak cukup untuk mengakomodir perkembangan potensi zakat di Indonesia, maka Komisi VIII DPR RI merumuskan undang-undang tentang pengelolaan zakat yang baru. Namun, sejak Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 yang sebelumnya telah ada mengatur tentang Pengelolaan Zakat, kemudian disusul oleh undang-undang baru yang telah sah diresmikan pada tanggal 20 Oktober 2011 lalu, malah menimbulkan kontroversi di kalangan praktisi, akademisi, masyarakat, Lembaga Amil Zakat (LAZ), dan pihak yang terkait (stake holder) lainnya. Mulai dari kekhawatiran akan dibekukannya LAZ hingga kesan UU tersebut mengerdilkan peran mandiri masyarakat dalam memberdayakan dana zakat.
Selain itu, hasil revisi UU zakat tersebut, telah menghambat kinerja serta peran lembaga-lembaga zakat yang telah ada. Hal ini disebabkan substansi yang terkandung dalam UU zakat tersebut menyatakan bahwa: “...setiap Lembaga Amil Zakat yang ingin mendapatkan izin untuk menyalurkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat setidaknya harus terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah dan sosial.” Dari sini telah jelas bahwa pemerintah ingin menyaring lembaga zakat yang telah ada dengan persyaratan keanggotaan “Ormas Islam”. Padahal, bagi lembaga zakat seperti Dompet Dhu’afa persyaratan seperti itu agak berat karena harus merevisi ulang struktur dasar dan mengubah statusnya selama ini sebagai yayasan.
Di samping motif-motif positif pemerintah, undang-undang tersebut seakan menyiratkan makna ketidakpercayaan pemerintah terhadap eksistensi dan kualitas managemen LAZIS non Ormas Islam dalam melaksanakan tugasnya selama ini. Ditambah lagi dengan pemberian sanksi pidana satu tahun penjara dan dikenakan denda 50 juta rupiah kepada pihak amil zakat yang menjalankan tugasnya tanpa izin pejabat yang berwenang.
Hal ini dikhawatirkan akan berujung pada kriminalisasi terhadap lembaga-lembaga amil zakat non pemerintah, seperti Dompet Dhu’afa dan badan amil zakat di masjid-masjid yang notabene sudah bertahun-tahun menyalurkan dan mendistribusikan zakat. Dan hal itu menjadi faktor yang membuat mereka semakin terkekang dalam pelaksanaan tugas pokok mereka sebagai badan amil zakat.
Selain itu, keraguan dan kekhawatiran pun mulai timbul di benak lembaga-lembaga amil zakat non-ormas terhadap jaminan mutu sistem pelaksaanaan zakat yang ditawarkan pemerintah, karena faktor belum adanya kejelasan mengenai kalimat “pejabat yang berwenang” dalam pasal tersebut. Apakah yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang itu adalah BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) ataukah pejabat lain yang ditunjuk oleh pemerintah? Lalu bagaimana jika ternyata pejabat tersebut adalah berasal dari kalangan non muslim, atau orang-orang yang tidak mengerti tentang tata cara pelaksanaan  zakat? Jika hal ini benar-benar terjadi, dampaknya sangat fatal bagi kesinambungan tata pelaksanaan zakat selanjutnya, sehingga akan merusak tatanan syari’at zakat di negeri ini.
Tidak hanya itu, karakteristik tentang lembaga amil zakat yang harus terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam pun belum terinci pasti, dan standar tata mekanisme pelaksanaan zakat dari undang-undang tersebut juga masih belum jelas strukturnya dengan baik. Sehingga, sangat wajar jika lembaga-lembaga non-pemerintah yang sudah berpengalaman dalam pendistribusian zakat selama bertahun-tahun itu, belum bisa memberikan kepercayaan penuh kepada lembaga zakat pemerintah yang berada di bawah naungan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Islam dalam menjalankan tugas utamanya.
Dengan demikian, tidak ayal jika peran aktif lembaga-lembaga zakat tersebut semakin berkurang dalam mengambil andil praktik zakat di Indonesia, dan secara tidak langsung kinerja lembaga-lembaga tersebut pun menjadi terhambat. Karena, disamping faktor pembatasan dan persyaratan yang harus dipenuhi, telah terjadi krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap kinerja pemerintah yang belum bisa menjamin kualitas dan hasil yang memuaskan baik dalam aspek perzakatan maupun aspek pemerintahan lainnya. Maka dari itu, perlu adanya undang-undang tambahan atau peraturan pemerintah yang menjelaskan secara gamblang mengenai mekanisme dan tata cara pendistribusian zakat yang sesuai dengan syari’at Islam.
Jika hal ini diabaikan maka besar kemungkinan stabilitas pelaksanaan zakat akan mengalami penurunan sehingga dapat mempengaruhi kualitas pencapaian visi utama dalam rangka menjunjung tinggi keadilan dan kemaslahatan umat melalui pemerataan penyalurandan pengelolaan zakat.
Lalu bagaimana dengan tanggapan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap peresmian UU’ zakat beberapa waktu lalu?
Dari beberapa referensi yang berisi tentang tanggapan K.H. Ma’ruf Amin selaku ketua umum Majelis Ulama Indonesia dan anggota-anggota MUI lainnya, terindikasi dari kutipan di berikut ini, "Saya kira, hormatilah produk UU itu, nanti MUI akan berikan rekomendasinya," kata Ma'ruf kepada Republika.co.id, Selasa (8/11).
Di sini dapat disimpulkan bahwa beliau ingin masyarakat dan pihak-pihak yang terkait menyikapi pengesahan UU Zakat yang baru ini dengan kepala dingin (lapang dada/respon yang baik), sebagai bentuk sikap hormat dan saling menghargai. Namun, apabila terdapat pihak yang tidak puas dengan hasil pengesahan tersebut, sebaiknya menggunakan jalur judicial review sehingga tidak merugikan salah satu pihak.
Untuk selanjutnya MUI akan mempelajari terlebih dahulu mengapa terjadi penolakan terhadap UU zakat. Kalau memang penolakan itu memiliki dasar yang kuat, dan berkaitan dengan maslahat bagi umat, maka MUI mendukung sepenuhnya dilakukan judicial review.
Tanggapan yang dicontohkan MUI adalah sikap yang tepat, karena dengan kondisi saat ini sangat dibutuhkan pikiran yang jernih dan respon yang beretika, untk mendapatkan solusi yang maslahat serta mencegah dari perselisihan antara pemerintah selaku penyusun dan masyarakat atau lembaga tertentu selaku pihak pelaksana. Oleh karena itu, MUI mencari jalan tengah dengan menempuh jalan komunikasi/musyawarah dengan pihak yang melakukan penolakan terhadap UU zakat dan pihak pemerintah (DPR). Seiring dengan itu, MUI pun melakukan analisa yang didasarkan pada nilai-nlai kemaslahatan dari pengesahan UU zakat tersebut, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan penentuan solusi yang tepat.
Kemudian timbul pertanyaannya kembali; seberapa jauh dampak UU tersebut terhadap masyarakat Islam Indonesia sebagai subyek zakat (muzakkÎ) sekaligus sebagai obyek zakat (mustahiq)?
Di sisi lain, adanya pengesahan Undang-Undang Zakat yang baru saja diparipurnakan oleh DPR memiliki banyak nilai positif, seperti menjadikan manajemen penyaluran zakat menjadi lebih efisien dan teratur. Tapi, tidak dapat dipungkiri akan adanya kemungkinan terdapat oknum-oknum tertentu yang mengambil keuntungan, karena jika zakat sudah masuk ke dalam sistem birokrasi, maka peluang timbulnya korupsi akan semakin besar.
Ujung-ujungnya, akan terjadi pengkhianatan terhadap para muzakkî selaku pemilik uang, danpraktik kezaliman kepada para mustahiq karena ketidakmerataan pendistribusian zakat. Untuk itu, lembaga pro rakyat yang bertugas mengawasi dan mengontrol pelaksanaan pengelolaan zakat di lembaga-lembaga pemerintah sangat dibutuhkan, agar tidak terjadi penyelewengan terhadap dana zakat.
Selain itu, UU zakat ini akan mempersulit masyarakat dalam rangka menunaikan rukun Islam yang keempat, yaitu kewajiban membayar zakat. Hal ini disebabkan karena hasil revisi undang-undang tersebut menyatakan bahwa masyarakat diwajibkan melakukan pembayaran zakat melalui para amil dari lembaga zakat yang terdaftar sebagai Organisasi Kemasyarakatan Islam. Apabila dibiarkan begitu saja, dikhawatirkan akan mengurangi sensitivitas para muzakkî terhadap kewajiban membayar zakat yang akhirnya akan merusak kesinambungan prospek stabilitas zakat ke depannya.
Pada akhirnya, kesinambungan antara pemerintah sebagai regulator penyusun UU Zakat dan Lembaga Amil Zakat (LAZIS) sangat diperlukan. Konsolidasi antara pihak-pihak tersebut dibutuhkan agar segala sesuatu yang diharapkan dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Sehingga kekhawatiran akan distribusi zakat yang tidak merata, maupun kemungkinan penyelewengan terhadap dana zakat dapat dihindari sedini mungkin. Dan kedepannya, diharapkan pengesahan undang-undang tersebut sebagai langkah awal dalam pengentasan kemiskinan yang ada, karena potensi zakat yang sedemikian besarnya tidak dapat dioptimalkan jika tidak ada regulator maupun fasilitator yang mumpuni untuk merealisasikan hal-hal tersebut. Wal-Lâhu A’lamu bish-Shawâb...

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes