Selasa, 20 Desember 2011

KORNEA MATAMU JINGGA


Kumandang tahajud memanggil.Wanita setengah baya itu tengah beradu pada asap yang menggempul.Bertaruh peluh demi sesuap nasi hari ini. Keempat anaknya yang sudah tahu arti malu masih belum juga bangun. Sepanjang hari letih membantu si ibu berjualan keliling,sekali lagi demi mengisi perut yang kadang hanya sekadar mengganjal perut.Kartini nama wanita itu, orang-orang memanggilnya Bu Tini.
Salah seorag anaknya sudah menjadi gadis yang telah menginjak bangku kuliah, mau tak mau, suka tak suka harus menerima kenyataan hidup ini. Menahan malu ditinggal bapak kawin lagi, lalu menahan pahit harus tetap bertahan dalam rumah yang tak layak pakai.
Tragis!Hidupnya belum kunjung berubah.Bau menyengat lumpur bekas orang hajat tercium di halaman rumah itu.Amis. Ditambah lagi bau kotoran kuda peliharaannya. Tak akan ada yang sanggup bertahan lama berada dalam rumah itu. Tapi heran, begitu tangguhnya wanita itu dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.
Pagi sekali Bu Tini akan bernyanyi sendu menjajakan kue milik Bu Romlah,tetangganya.Khas sekali suaranya. Kadang, anak-anak orang kaya itu membelinya, tapu tak jarang kadang hanya menyindirnya, lalu meninggalkannya begitu saja. Peluh keringatnya mulai nampak, kedua anaknya yang masih SD, Lilis dan Gun, lalu abangnya yang baru saja tamat SMP, Muhlis, dan anak gadis tertuanya, Mirna, yang kebingungan belum mengumpulkan tugas.Hanya satu alas an: belum cukup uang!
Mereka datang satu persatu menagih uang jajan, walau itu pun hanya 500 sampai dengan 1000 perak saja.Tak apa.Yang penting perut tak kosong sama sekali. Sedang Muhlis pagi sekali harus menjadi kusir delman sebelum berangkat sekolah, lalu Mirna akan mengambil jalan pintas memotong petak demi petak sawah untuk sampai ke universitas tercinta. Begitulah tiap harinya, hingga raga ini letih menyaksikannya.
Setelah seharian berjualan keliling,dari satu kantor ke kantor lainnya, sekolah ke sekolah lain, rumah ke rumah, dan kemudian Bu Tini kembali pulang.Suaranya parau setelah seharian berteriak. Wajahnya lesu karea tak terjamah air sama sekali.Lalu bajunya kusut setelah seharian bertaruh dengan debu dan angin semesta. Namun, senyum itu masih terus mengembang, seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Kedua anaknya menyambut bahagia, berharap masih ada sisa kue milik tetangga yang tersisa. Lega, masih ada satu yang tersisa; kue lapis.Mereka berebut.Geli.Si ibu melerai.Dibagi dua, lalu merekapun bermain lagi.
Namun kali ini tak ada sisa kue yang harus mereka jajakan lagi. Muhlis belum kembali mencari nafkah, sedang Mirna masih di sekolah. Upah hari itu alhamdulillah kurang lebih Rp 100.000.Dimasukannya sebagian ke dalam celengan plastik bebek. Digoyangkannya, sudah mulai penuh. Bibirnya tersenyum simpul.Sepertinya sesuatu yang dipikirkannya akan segera terjadi.
Belum selesai, mesin jahit bekas yang dibelinya setahun yang lalu meminta untuk dijamah.Ada beberapa yang meminta dijahitkan hari itu. Lumayan, uang 1000 masuk ke dalam celengan bebek itu lagi. Begitu seterusnya, hingga tanah tempatnya berpijak saat ini jenuh melihat perubahan yang belum menampakkan diri.
Sempat berpikir, dikhianati suami, menjajakan kue, menjahit baju orang, membuatkan kasur orang,alhamdulillah masih mampu menghidupi dan menyekolahkan ke empat anak-anaknya. Wanita tangguh, Bu Tini yang selalu nampak ceria, tak peduli pada cemoohan orang.Hanya satu doanya kala itu,“Anak-anakku tidak boleh bernasib sama sepertiku.
Sungguh, kornea matamu masih tetap jingga,tetap sendu, bersahaja, kebaikanmu dan ketangguhanmu mengalahkan semua masalah hidup itu. Satu katamu padaku,“Kalau tak bekerja seperti ini, siapa lagi yang akan menghidupimu. Tak usah gengsi, itu akan membunuhmu!”. Kan kuingat selalu petuahmu wahai wanita perkasa.

*Kisah ini terinspirasi dari tetanggaku, tepatnya di Santi, Kota Bima-NTB

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes