
Salah seorag anaknya sudah menjadi gadis yang telah
menginjak bangku kuliah, mau tak mau, suka tak suka harus menerima kenyataan
hidup ini. Menahan malu ditinggal bapak kawin
lagi, lalu menahan pahit harus tetap bertahan dalam rumah yang tak layak pakai.
Tragis!Hidupnya belum kunjung berubah.Bau menyengat lumpur
bekas orang hajat tercium di halaman rumah itu.Amis. Ditambah lagi bau kotoran
kuda peliharaannya. Tak akan ada yang sanggup bertahan lama berada dalam rumah
itu. Tapi heran, begitu tangguhnya wanita
itu dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.
Pagi
sekali Bu Tini akan bernyanyi sendu menjajakan
kue milik Bu Romlah,tetangganya.Khas sekali suaranya. Kadang, anak-anak orang kaya itu membelinya, tapu tak jarang kadang
hanya menyindirnya, lalu meninggalkannya begitu saja. Peluh keringatnya mulai
nampak, kedua anaknya yang masih SD, Lilis dan Gun, lalu abangnya yang baru
saja tamat SMP, Muhlis, dan anak gadis tertuanya, Mirna, yang kebingungan belum
mengumpulkan tugas.Hanya satu alas an: belum cukup uang!
Mereka
datang satu persatu menagih uang jajan, walau itu pun hanya 500 sampai dengan 1000 perak saja.Tak apa.Yang penting perut
tak kosong sama sekali. Sedang Muhlis pagi sekali harus menjadi kusir delman sebelum
berangkat sekolah, lalu Mirna akan mengambil jalan pintas memotong petak demi
petak sawah untuk sampai ke universitas tercinta. Begitulah tiap harinya,
hingga raga ini letih menyaksikannya.
Setelah
seharian berjualan keliling,dari satu kantor
ke kantor lainnya, sekolah ke sekolah lain, rumah ke rumah, dan kemudian Bu
Tini kembali pulang.Suaranya parau setelah seharian berteriak. Wajahnya lesu karea tak terjamah air sama sekali.Lalu bajunya kusut setelah seharian bertaruh
dengan debu dan angin semesta. Namun, senyum itu masih terus mengembang, seolah
tak pernah terjadi apa-apa.
Kedua
anaknya menyambut bahagia, berharap masih ada sisa kue milik tetangga yang
tersisa. Lega, masih ada satu yang tersisa; kue lapis.Mereka berebut.Geli.Si ibu melerai.Dibagi dua, lalu merekapun bermain lagi.
Namun
kali ini tak ada sisa kue yang harus mereka jajakan lagi. Muhlis belum kembali
mencari nafkah, sedang Mirna masih di sekolah.
Upah hari itu alhamdulillah kurang lebih Rp 100.000.Dimasukannya sebagian ke dalam celengan plastik bebek. Digoyangkannya,
sudah mulai penuh. Bibirnya tersenyum simpul.Sepertinya sesuatu yang dipikirkannya akan
segera terjadi.
Belum
selesai, mesin jahit bekas yang dibelinya setahun yang lalu meminta untuk dijamah.Ada beberapa yang
meminta dijahitkan hari itu. Lumayan, uang 1000 masuk
ke dalam celengan bebek itu lagi. Begitu seterusnya, hingga tanah tempatnya
berpijak saat ini jenuh melihat perubahan yang belum menampakkan diri.
Sempat berpikir, dikhianati suami, menjajakan kue,
menjahit baju orang, membuatkan kasur orang,alhamdulillah masih mampu
menghidupi dan menyekolahkan ke empat anak-anaknya. Wanita tangguh, Bu Tini yang selalu nampak ceria, tak peduli pada cemoohan orang.Hanya satu doanya kala itu,“Anak-anakku tidak boleh bernasib sama sepertiku.”
Sungguh, kornea matamu masih tetap jingga,tetap sendu,
bersahaja, kebaikanmu dan ketangguhanmu mengalahkan semua masalah hidup itu.
Satu katamu padaku,“Kalau tak bekerja
seperti ini, siapa lagi yang akan menghidupimu. Tak usah gengsi, itu akan
membunuhmu!”. Kan kuingat selalu petuahmu wahai wanita perkasa.
*Kisah
ini terinspirasi dari tetanggaku, tepatnya di
Santi, Kota Bima-NTB
0 komentar:
Posting Komentar