Oleh: Amalina Fauziah
Fenomena
kenaikan harga emas dunia dalam beberapa tahun terakhir ini telah melatarbelakangi
terciptanya transaksi-transaksi gadai emas berbasis syariah. Pada awalanya,
transaksi gadai emas diberlakukan di perbankan bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan pembiayaan nasabah dalam sektor usaha ataupun sektor lainnya. Namun
setelah berjalan beberapa waktu, skema gadai itu malah diselewengkan untuk
investasi-investasi yang berbau spekulasi. Misalnya pada saat harga emas
menurun, baik pihak nasabah maupun bank dihadapkan pada potensi kerugian.
Adapun
transaksi-transaksi gadai emas yang dipakai dalam bank syariah ada dua skema,
yakni ‘berkebun emas’ dan ‘angsa emas’. Berkebun Emas adalah skema gadai dengan
memberikan pinjaman sekitar 90-100 persen dari nilai emas itu sendiri yang
diterima oleh para spekulan (nasabah) kemudian emas tersebut di gadai
terus-menerus demi mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Sedangkan Angsa
Emas adalah transaksi gadai emas di mana bank mengenakan biaya tambahan di luar
nilai gadai emas yang diterima oleh nasabah.
Namun
pada pembahasan kali ini akan lebih terkonsentrasi kepada penelusuran mengenai
“Angsa Emas dalam Perbankan”.
Metode
Angsa Emas yang biasa terjadi di bank syariah selaku penyelenggara transaksi
gadai emas adalah: nasabah membeli emas dengan cara meminjam dana kepada pihak
bank. Selain itu, terkadang emas yang akan dibeli nasabah disediakan langsung
oleh bank dengan tingkat harga yang sedang berkembang pada saat itu. Sehingga
hal ini menimbulkan blunder dan
kerugian bagi nasabah pada saat harga emas turun.
Dengan kata lain, dalam metode ‘Angsa Emas’ uang nasabah yang berasal dari pinjaman bank dibelikan
emas yang kemudian digadaikan kembali kepada bank. Skema itu terjadi berulang-ulang
hingga terjadi sampai beberapa tingkat.
Akhirnya,
pada saat harga emas mengalami penurunan, nasabah pun menolak menebus emas yang
digadaikan tersebut dengan dalih tidak ingin rugi. Alhasil, bank mengalami
kerugian dan terjadi penumpukan emas di bank. Sebagaimana yang dituturkan
oleh Direktur Pengaturan Perbankan Syariah Bank Indonesia berikut ini:
“Ketika
harga emas turun maka nasabah tidak mau membayar biaya tambahan karena harga
emas yang berfluktuasi. Oleh karena itu, kami melarang berbagai metode gadai
emas yang bertujuan untuk menambah nilai pembiayaan,” kata Mulya Effendi
Siregar di Gedung BI Jakarta, Jumat.
Begitu
pula dengan pihak nasabah, mereka pun sangat dipastikan akan mengalami kerugian
ketika menebus emas-emas tersebut pada saat harga emas turun karena uang yang
harus diganti dari hasil gadai tidak sesuai dengan harga emas pada saat
ditebus. Selain itu, ada biaya tambahan yang dikenakan bank kepada pihak
nasabah di luar nilai gadai emas yang diterima nasabah sebagai ganti nilai
tambah dari emas yang terus meningkat
di masa yang akan datang.
“Informasi
yang diperoleh nasabah dari pihak ketiga tidak pernah menyebutkan adanya
penambahan biaya (top up), karena nasabah hanya berasumsi harga emas
akan terus naik. Spekulasi semacam ini seringkali terjadi sehingga kami
melarang pembiayaan gadai emas dengan metode berkebun emas dan angsa
emas," tegas Mulya.
Dengan
kata lain, dari sisi teknis spekulasinya, ‘Angsa Emas’ hampir sama dengan
‘Berkebun Emas’ hanya saja terdapat beberapa perbedaan, yakni dari sumber dana
pembelian emas di awal, tingkat harga emas yang dipatok oleh pihak bank dan
adanya biaya tambahan di luar nilai gadai yang diterima nasabah.
Dari
segi sumber modal, dalam metode ‘Berkebun Emas’ nasabah terkait membeli emas
dengan dananya pribadi bukan hasil pinjaman dari bank seperti dalam metode
‘Angsa Emas’. Selain itu, pihak bank mematok harga emas dengan harga yang
berlaku di masa itu sehingga pada saat nasabah menebus emasnya pihak bank
menambahkan biaya pembiayaan atas dasar asumsi harga emas yang terus meningkat.
Walaupun
awalnya, penyelenggaraan gadai emas di perbankan syariah bertujuan untuk
membantu nasabah yang terdesak dengan masalah pembiayaan, ternyata dalam
praktiknya di lapangan semakin tidak sinkron
seiring mulai maraknya praktik dua skema tersebut. Hal ini dikarenakan bukti
yang mengandung unsur spekulasi yang kental dan memiliki potensi kerugian baik
bagi pihak bank maupun pihak nasabah terkait.
Sehingga,
BI (Bank Indonesia) mengeluarkan Surat Edaran (SE) yang mengatur gadai emas itu
pada akhir Januari 2012. Bahkan BI bukan hanya menetapkan sederet rambu-rambu,
tapi juga menyiapkan sanksi tegas bagi bank yang melanggar.
Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) kembali menegaskan
bahwa transaksi emas merupakan bisnis yang diperbolehkan dalam perbankan syariah. Ketua DSN MUI, KH. Ma’ruf Amin, turut
menyinggungnya, “Hal ini sudah diatur dalam fatwa yang dikeluarkan lembaga
tersebut.” Meskipun demikian, ia menjelaskan bahwa bisnis ini tidak bisa
dilakukan jika terdapat unsur spekulasi di dalamnya. Namun, jika untuk
investasi hal ini sah saja dilakukan nasabah.
Sementara
itu, menanggapi akad qard dalam gadai emas, KH. Ma’ruf Amin menegaskan bahwa akad qard tersebut boleh dipakai.
“Asalkan tidak ada beban alias jangan ada tambahan dana. Kalau itu melanggar
DSN,” ujarnya.
Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pihak DSN MUI memberikan izin dan mengesahkan transaksi
gadai emas di atas. Namun dengan syarat harus dipersamakan dengan akad qardh di
mana tidak ada unsur tambahan pembiayaan di akhir masa gadai. Wal-Lâhu
A’lamu bish-Shawâb...
0 komentar:
Posting Komentar