Kamis, 23 Februari 2012

Indonesia Lalu, Saat Ini, dan Esok

Oleh: Syifa Sofiah

Berbicara melalui tulisan mengenai Indonesia dan Ekonominya akanlah sangat luas. Mengapa? karena Indonesia tak jauh dari peran politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Perbincangan tentang ideologi ekonomi saat ini terus bergulir seiring dengan perkembangan politik nasional yang makin menghangat melalui peralihan kepemimpinan nasional. Sebagai sebuah bangsa yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki berbagai persoalan mendasar dalam membangun bangsa yang tegak, berdaulat dan berwibawa.
Persoalan nasional yang menjadi beban di hampir setiap generasi adalah persoalan ekonomi. Kebijakan ekonomi liberal telah membebani rakyat dengan pembebanan yang luar biasa, sementara kebijakan itu hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang saja yang dengan kolusif mendapatkan pemanjaan negara hingga menjadi konglomerat-konglomerat yang menggerogoti perekonomian negara.
Di Indonesia, salah satu konglomerat Indonesia (dari group HMS) menggegerkan dunia bisnis Indonesia karena telah menjual 40 persen sahamnya senilai US$ 2 miliyar. Berarti sang konglomerat tersebut akan menerima uang senilai Rp 18,6 triliun. Ironis sekali karena angka kemiskinan penduduk kita masih membumbung tinggi dengan ukuran konsumsi perbulan di bawah 200 ribu rupiah. Inilah salah satu dampak pemberlakuan sistem ekonomi Neo-Liberal yang jejaknya dapat ditelusuri ketika Indonesia mulai memasuki era Pemerintahan Orde Baru sejak Maret 1966. Kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia banyak dibawa kearah liberalisasi ekonomi, baik liberalisasi sektor keuangan, sektor industri, sektor pertanian, maupun sektor perdagangan.
Pembangunan ekonomi yang dibangun di atas ketergantungan hutang membuat beban rakyat menjadi semakin berat. Kebanggaan para negosiator hutang untuk terus mendapatkan pinjaman dan penundaan pembayaran hutang-hutang itu menjadi bom waktu yang harus ditanggung oleh generasi mendatang. Apalagi dalam tahun-tahun terakhir ini hutang Indonesia menjadi sangat tinggi sekali, mencapai angka 146 triliun rupiah. Ironis!
Kemandirian rakyat dalam bidang ekonomi dilikuidasi dengan berbagai kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Alhamdulillah, Indonesia adalah negeri subur yang sangat kaya dengan potensi alam pertanian dan kekayaan alam lainnya.  Dan rakyat Indonesia secara  kultural hidup sebagai petani, yang dengan keterbatasan mereka, tetap mampu menghidupkan dinamika pedesaan dengan berbagai macam kegiatan pertaniannya.
Dunia pertanian sering kali ternoda oleh kegiatan nakal tuan tanah dan jeratan tukang ijon yang menjadi benalu bagi petani penggarap. Keadaan ini diperburuk lagi dengan kebijakan Bimas Inmas dan tata niaga hasil pertanian yang dibuat pemerintah yang sejauh ini dirasa tidak pro rakyat.
Kebijakan pemerintah itu sangat  membahayakan perekonomian dan sosial budaya bangsa ini. Ketika petani dikenalkan dengan alat-alat industri pertanian maka terjadilah pengurangan besar-besaran terhadap tenaga kerja sektor pertanian. Tukang cangkul diganti dengan traktor dan tukang tumbuk diganti dengan mesin giling. Maka terjadilah  penumpukan pengangguran di pedesaan yang merupakan wilayah terbesar negeri ini. Padahal, kebijakan ini tidak dibarengi dengan kesiapan pemerintah untuk membuka lowongan pekerjaan.
Belum lagi dengan pembelian bibit kemasan, pupuk, pestisida dan kelengkapan pertanian lainnya. Semua sektor ini menyedot uang yang semula beredar di desa menjadi mengalir ke kota. Sementara orang kota tidak memiliki agenda untuk membeli produk pedesaan kecuali dengan harga yang sangat murah. Maka akibat yang paling dirasakan adalah kelangkaan uang di desa karena semua tersedot ke kota.
Angka pengangguran menjadi semakin tinggi dan terjadilah urbanisasi besar-besaran. Kota lalu menjadi impian baru untuk membangun harapan, karena di desa sudah tidak ada lagi harapan.  Anak-anak sekolah, bahkan yang kuliah di fakultas pertanian tidak pernah bermimpi menjadi petani, padahal Allah mengaruniakan negeri ini tanah yang subur dan makmur.
Pertanian memang tangguh menopang ekonomi rakyat tetapi tidak cukup menguntungkan bagi budaya pejabat negara yang korup. Maka kebijakan-kebijakan tata niaga hasil pertanian dibuat agar orang-orang yang tidak memiliki kontribusi terhadap pertanian dapat ikut menikmati hasil pertanian itu. Sebuah kebijakan yang konyol!
Setelah berhasil membunuh perekonomian rakyat agraris, langkah berikutnya adalah membuka pintu bagi para investor untuk membangun pabrik-pabrik. Industrialisasi berlangsung dan meluas hingga mencaplok lahan-lahan pertanian yang sudah tidak berdaya itu.
Urbanisasi dan bekerja sebagai buruh pabrik menjadi tren baru bagi rakyat Indonesia.  Pola ini berdampak pada mobilitas horizontal masyarakat yang cukup tinggi. Imajinasi baru terbentuk  di benak para urban, kehidupan desa dianggap sebagai masa lalu yang tradisional, sementara kehidupan kota dianggap sebagai gaya hidup modern yang membanggakan.  Imajinasi ini menjadi pembunuh sadis bagi karakter bangsa yang masih sangat rapuh. 
Anak-anak desa yang sedang tumbuh mencari sesuatu berbondong-bondong ke kota untuk mendapatkan pekerjaan yang layak bagi penghidupannya.  Kota menjadi penuh sesak, dan desa menjadi kosong karena ditinggalkan penghuninya.
Keterbatasan pendidikan dan ketrampilan para urban menjadi masalah baru di setiap kota tujuan. Semakin menyempitnya lapangan kerja karena banyaknya penyerbu kawasan itu memunculkan masalah sosial seperti, munculnya kawasan kumuh, kerawanan sosial, seperti tindak kejahatan, dan perbuatan-perbuatan asusila.
Ketika kota-kota tidak lagi dapat menampung mereka dengan segala harapannya, sementara kampung tidak lagi memberi harapan, maka pilihan berikutnya adalah berimigrasi ke negeri seberang. Kawasan Arab, Korea, Jepang, Malaysia, Singapura, menjadi impian baru bagi pemenuhan hajat ekonomi. Tidak apalah walau menjadi buruh kasar, pembantu rumah tangga atau pekerja seksual, asal dapat membawa uang ketika pulang. Masya Allah.
Pemerintah yang memang sudah salah dalam mengambil kebijakan dengan membunuh pertanian di pedesaan dan tidak lagi mampu menyediakan lapangan kerja di dalam negeri menjadikan keinginan imigran menjadi solusi untuk mengatasi penumpukan jumlah pengangguran yang semakin membengkak dari hari ke hari.
Maka berbondong-bondonglah imigran ini meninggalkan tanah air menuju ke negeri baru baik dengan cara yang resmi maupun menjadi imigran gelap. Pemecahan masalah yang menimbulkan banyak masalah. Keberadaan tenaga kerja dengan pendidikan rendah membuat mereka tidak memiliki harga diri di negeri tujuan. Pembantu rumah tangga atau menjadi pekerja kasar menjadi jasa unggulan yang dapat mereka jual untuk mendapatkan uang.
Perbedaan kultur negara tujuan dengan negara asal sering kali membawa masalah dalam hubungan kerja yang menimbulkan gesekan dan kezaliman pada sebagian tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Sementara pembelaan dari pemerintah terasa sangat lemah dan lebih cenderung tidak berdaya di tengah ketidakberdayaan rakyatnya di negeri imigran.
Tenaga kerja imigran ini banyak mendatangkan devisa bagi negara dan nilai ekonomis yang tinggi bagi para pekerja itu sendiri namun sekaligus membawa masuk infiltrasi budaya asing yang destruktif bagi kelangsungan budaya desa yang religius. Apalagi saat ini Istilah “ekonomi kerakyatan” kembali popular akhir akhi. Hampir setiap Capres-Cawapres yang bersaing pada tahun ini mengklaim dirinya akan menerapkan sistem ekonomi kerakyatan. Rakyat menjadi kata yang sakral. Sakral bagi penguasa maupun oposannya. Konstitusi Negara ini menandaskan bahwa salah satu tujuan pembangunan nasional adalah memajukan kesejahteraan rakyat.
Apa persoalan mendasar dalam ekonomi di Indonesia saat ini? Pandangan kapitalis yang disusung kelompok “kanan-baru” loyalitas Adam Smith merumuskan bahwa inti persoalan ekonomi terletak pada masalah produksi. Yakni terbatasnya sumberdaya yang diperlukan, sedangkan keinginan manusia tak ada batasnya. Selain faktor sumber dayanya, sistem dan corak pemerintahannya yang berkuasa sangat menentukan warna perekonomian yang dianut di negeri ini.
Namun, pada zaman Bung Hatta sebetulnya telah meletakkan dasar-dasar sistem ekonomi Indonesia yang sangat pro rakyat, yaitu melalui sistem koperasi dengan asas kekeluargaan dan nilai-nilai pancasila sebagai dasarnya. Sayangnya sistem yang sudah dirintis oleh Bung Hatta itu tidak dilanjutkan dengan baik.
Nah, di sinalah ekonomi Islam mendapatkan celahnya. Indonesia pada masa yang akan datang dengan penuh optimis bahwa sistem ekonomi Islamlah satu satunya solusi yang ampuh dan steril dari semua krisis ekonomi. Mengapa? karena ekonomi Islam memiliki konsep dalam mengatasi krisis keuangan.
Ekonomi Islam sebenarnya bisa menjadi fondasi ekonomi kerakyatan untuk mencapai Indonesia yang lebih sejahtera. Geliat perekonomian rakyat dalam era reformasi tidak sama sekali terpuruk meski dalam masa krisis ekonomi dan pemulihan yang melanda sejak pertengahan 1997 lalu. Hal ini tampak dari menjamurnya lembaga-lembaga keuangan syariah pada dekade 90-an. Misalnya lahirnya Bank Muamalat pada tahun 1992, diikuti dengan sejumlah BPR Syariah telah membuktikan bahwa sistem syariah dapat bertahan san selamat dari terjangan badai krisis.
Setelah itu giliran lembaga syariah yang berkhidmat pada pasar mikro dan usaha kecil seperti Baitul Mal wat Tamwil (BMT) bermunculan dengan menawarkan program pemberdayaan ekonomi rakyat yang tak tersentuh oleh perbankan konvensional. Kehidupan pengusaha mikro kian mendapatkan kemudahan dengan tersediannya akses mendapatkan dana pinjaman modal untuk melanggengkan usahanya.
Hampir di setiap lembaga ekonomi syariah teersebut para nasabahnya adalah kalangan bawah (dhuafa) dan bisa mendapatkan pinjaman bersifat qordhul hasan. Artinya mereka dapat meminjam dana produktif untuk dikembangkan dengan pengembalian lunak tanpa dibebani dana bagi hasil. Hal inilah yang membuat lembaga ekonomi syariah mendapat tempat di hati mereka. Mereka tidak lagi dihantui beban bunga yang mencekik sebagaimana kerap terjadi pada sistem ekonomi konvensional. Ekonomi Syariah memberikan secercah harapan baru bagi tumbuh kembangnya bidang ini Hal ini karena keduanya memiliki kesamaan yang kuat.
Ekonomi Islam dan ekonomi kerakyatan sebetulnya sama-sama memiliki tujuan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat bersama. Bahkan Negara-negara non muslim sudah membuka diri untuk menggunakan sistem ekonomi Islam. Sebagai umat Islam,hendaknya kita segera keluar dari sistem konvensional dan kembali kepada sistem ekonomi Islam. Wal-Lâhu A’lamu bish-Shawâb...

Angsa Emas dalam Perbankan

Oleh: Amalina Fauziah

Fenomena kenaikan harga emas dunia dalam beberapa tahun terakhir ini telah melatarbelakangi terciptanya transaksi-transaksi gadai emas berbasis syariah. Pada awalanya, transaksi gadai emas diberlakukan di perbankan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan nasabah dalam sektor usaha ataupun sektor lainnya. Namun setelah berjalan beberapa waktu, skema gadai itu malah diselewengkan untuk investasi-investasi yang berbau spekulasi. Misalnya pada saat harga emas menurun, baik pihak nasabah maupun bank dihadapkan pada potensi kerugian.
 Adapun transaksi-transaksi gadai emas yang dipakai dalam bank syariah ada dua skema, yakni ‘berkebun emas’ dan ‘angsa emas’. Berkebun Emas adalah skema gadai dengan memberikan pinjaman sekitar 90-100 persen dari nilai emas itu sendiri yang diterima oleh para spekulan (nasabah) kemudian emas tersebut di gadai terus-menerus demi mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Sedangkan Angsa Emas adalah transaksi gadai emas di mana bank mengenakan biaya tambahan di luar nilai gadai emas yang diterima oleh nasabah.
Namun pada pembahasan kali ini akan lebih terkonsentrasi kepada penelusuran mengenai “Angsa Emas dalam Perbankan”.
Metode Angsa Emas yang biasa terjadi di bank syariah selaku penyelenggara transaksi gadai emas adalah: nasabah membeli emas dengan cara meminjam dana kepada pihak bank. Selain itu, terkadang emas yang akan dibeli nasabah disediakan langsung oleh bank dengan tingkat harga yang sedang berkembang pada saat itu. Sehingga hal ini menimbulkan blunder dan kerugian bagi nasabah pada saat harga emas turun.
Dengan kata lain, dalam metode ‘Angsa Emas’ uang nasabah yang berasal dari pinjaman bank dibelikan emas yang kemudian digadaikan kembali kepada bank. Skema itu terjadi berulang-ulang hingga terjadi sampai beberapa tingkat.
Akhirnya, pada saat harga emas mengalami penurunan, nasabah pun menolak menebus emas yang digadaikan tersebut dengan dalih tidak ingin rugi. Alhasil, bank mengalami kerugian dan terjadi penumpukan emas di bank. Sebagaimana yang dituturkan oleh Direktur Pengaturan Perbankan Syariah Bank Indonesia berikut ini:
“Ketika harga emas turun maka nasabah tidak mau membayar biaya tambahan karena harga emas yang berfluktuasi. Oleh karena itu, kami melarang berbagai metode gadai emas yang bertujuan untuk menambah nilai pembiayaan,” kata Mulya Effendi Siregar di Gedung BI Jakarta, Jumat.
Begitu pula dengan pihak nasabah, mereka pun sangat dipastikan akan mengalami kerugian ketika menebus emas-emas tersebut pada saat harga emas turun karena uang yang harus diganti dari hasil gadai tidak sesuai dengan harga emas pada saat ditebus. Selain itu, ada biaya tambahan yang dikenakan bank kepada pihak nasabah di luar nilai gadai emas yang diterima nasabah sebagai ganti nilai tambah dari emas yang terus meningkat di masa yang akan datang.
“Informasi yang diperoleh nasabah dari pihak ketiga tidak pernah menyebutkan adanya penambahan biaya (top up), karena nasabah hanya berasumsi harga emas akan terus naik. Spekulasi semacam ini seringkali terjadi sehingga kami melarang pembiayaan gadai emas dengan metode berkebun emas dan angsa emas," tegas Mulya.
Dengan kata lain, dari sisi teknis spekulasinya, ‘Angsa Emas’ hampir sama dengan ‘Berkebun Emas’ hanya saja terdapat beberapa perbedaan, yakni dari sumber dana pembelian emas di awal, tingkat harga emas yang dipatok oleh pihak bank dan adanya biaya tambahan di luar nilai gadai yang diterima nasabah.
Dari segi sumber modal, dalam metode ‘Berkebun Emas’ nasabah terkait membeli emas dengan dananya pribadi bukan hasil pinjaman dari bank seperti dalam metode ‘Angsa Emas’. Selain itu, pihak bank mematok harga emas dengan harga yang berlaku di masa itu sehingga pada saat nasabah menebus emasnya pihak bank menambahkan biaya pembiayaan atas dasar asumsi harga emas yang terus meningkat.
Walaupun awalnya, penyelenggaraan gadai emas di perbankan syariah bertujuan untuk membantu nasabah yang terdesak dengan masalah pembiayaan, ternyata dalam praktiknya di lapangan semakin tidak sinkron seiring mulai maraknya praktik dua skema tersebut. Hal ini dikarenakan bukti yang mengandung unsur spekulasi yang kental dan memiliki potensi kerugian baik bagi pihak bank maupun pihak nasabah terkait.
Sehingga, BI (Bank Indonesia) mengeluarkan Surat Edaran (SE) yang mengatur gadai emas itu pada akhir Januari 2012. Bahkan BI bukan hanya menetapkan sederet rambu-rambu, tapi juga menyiapkan sanksi tegas bagi bank yang melanggar.
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) kembali menegaskan bahwa transaksi emas merupakan bisnis yang diperbolehkan dalam perbankan syariah. Ketua DSN MUI, KH. Ma’ruf Amin, turut menyinggungnya, “Hal ini sudah diatur dalam fatwa yang dikeluarkan lembaga tersebut.” Meskipun demikian, ia menjelaskan bahwa bisnis ini tidak bisa dilakukan jika terdapat unsur spekulasi di dalamnya. Namun, jika untuk investasi hal ini sah saja dilakukan nasabah.
Sementara itu, menanggapi akad qard dalam gadai emas, KH. Ma’ruf Amin menegaskan  bahwa akad qard tersebut boleh dipakai. “Asalkan tidak ada beban alias jangan ada tambahan dana. Kalau itu melanggar DSN,” ujarnya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pihak DSN MUI memberikan izin dan mengesahkan transaksi gadai emas di atas. Namun dengan syarat harus dipersamakan dengan akad qardh di mana tidak ada unsur tambahan pembiayaan di akhir masa gadai. Wal-Lâhu A’lamu bish-Shawâb...

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes