Oleh:
Syifa Sofiah
Berbicara melalui
tulisan mengenai Indonesia dan Ekonominya akanlah sangat luas. Mengapa? karena Indonesia
tak jauh dari peran politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Perbincangan tentang
ideologi ekonomi saat ini terus bergulir seiring dengan perkembangan politik
nasional yang makin menghangat melalui peralihan kepemimpinan nasional. Sebagai sebuah
bangsa yang berpenduduk
muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki berbagai persoalan mendasar dalam
membangun bangsa yang tegak, berdaulat dan berwibawa.
Persoalan nasional yang menjadi beban di
hampir setiap generasi adalah persoalan ekonomi. Kebijakan ekonomi liberal
telah membebani rakyat dengan pembebanan yang luar biasa, sementara kebijakan
itu hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang saja yang dengan kolusif
mendapatkan pemanjaan negara hingga menjadi konglomerat-konglomerat yang menggerogoti
perekonomian negara.
Di Indonesia, salah satu konglomerat
Indonesia (dari group HMS) menggegerkan dunia bisnis Indonesia karena telah
menjual 40 persen sahamnya senilai US$ 2 miliyar. Berarti sang konglomerat
tersebut akan menerima uang senilai Rp 18,6 triliun. Ironis sekali karena angka
kemiskinan penduduk kita masih membumbung tinggi dengan ukuran konsumsi
perbulan di bawah 200 ribu rupiah. Inilah salah satu dampak pemberlakuan sistem
ekonomi Neo-Liberal yang jejaknya dapat ditelusuri ketika Indonesia mulai
memasuki era Pemerintahan Orde Baru sejak Maret 1966. Kebijakan ekonomi
pemerintah Indonesia banyak dibawa kearah liberalisasi ekonomi, baik
liberalisasi sektor keuangan, sektor industri, sektor pertanian, maupun sektor
perdagangan.
Pembangunan ekonomi yang dibangun di
atas ketergantungan hutang membuat beban rakyat menjadi semakin berat.
Kebanggaan para negosiator hutang untuk terus mendapatkan pinjaman dan
penundaan pembayaran hutang-hutang itu menjadi bom waktu yang harus ditanggung
oleh generasi mendatang. Apalagi dalam tahun-tahun terakhir ini hutang
Indonesia menjadi sangat tinggi sekali, mencapai angka 146 triliun rupiah.
Ironis!
Kemandirian rakyat dalam bidang
ekonomi dilikuidasi dengan berbagai kebijakan yang menyengsarakan rakyat.
Alhamdulillah, Indonesia adalah negeri subur yang sangat kaya dengan potensi
alam pertanian dan kekayaan alam lainnya.
Dan rakyat Indonesia secara
kultural hidup sebagai petani, yang dengan keterbatasan mereka, tetap
mampu menghidupkan dinamika pedesaan dengan berbagai macam kegiatan
pertaniannya.
Dunia pertanian sering kali ternoda
oleh kegiatan nakal tuan tanah dan jeratan tukang ijon yang menjadi benalu bagi
petani penggarap. Keadaan ini diperburuk lagi dengan kebijakan Bimas Inmas dan
tata niaga hasil pertanian yang dibuat pemerintah yang sejauh ini dirasa tidak
pro rakyat.
Kebijakan pemerintah itu sangat membahayakan perekonomian dan sosial budaya
bangsa ini. Ketika petani dikenalkan dengan alat-alat industri pertanian maka
terjadilah pengurangan besar-besaran terhadap tenaga kerja sektor pertanian.
Tukang cangkul diganti dengan traktor dan tukang tumbuk diganti dengan mesin
giling. Maka terjadilah penumpukan
pengangguran di pedesaan yang merupakan wilayah terbesar negeri ini. Padahal,
kebijakan ini tidak dibarengi dengan kesiapan pemerintah untuk membuka lowongan
pekerjaan.
Belum lagi dengan pembelian bibit
kemasan, pupuk, pestisida dan kelengkapan pertanian lainnya. Semua sektor ini
menyedot uang yang semula beredar di desa menjadi mengalir ke kota. Sementara
orang kota tidak memiliki agenda untuk membeli produk pedesaan kecuali dengan
harga yang sangat murah. Maka akibat yang paling dirasakan adalah kelangkaan
uang di desa karena semua tersedot ke kota.
Angka pengangguran menjadi semakin
tinggi dan terjadilah urbanisasi besar-besaran. Kota lalu menjadi impian baru
untuk membangun harapan, karena di desa sudah tidak ada lagi harapan. Anak-anak sekolah, bahkan yang kuliah di
fakultas pertanian tidak pernah bermimpi menjadi petani, padahal Allah mengaruniakan
negeri ini tanah yang subur dan makmur.
Pertanian memang tangguh menopang
ekonomi rakyat tetapi tidak cukup menguntungkan bagi budaya pejabat negara yang
korup. Maka kebijakan-kebijakan tata niaga hasil pertanian dibuat agar
orang-orang yang tidak memiliki kontribusi terhadap pertanian dapat ikut menikmati
hasil pertanian itu. Sebuah kebijakan yang konyol!
Setelah berhasil membunuh perekonomian
rakyat agraris, langkah berikutnya adalah membuka pintu bagi para investor
untuk membangun pabrik-pabrik. Industrialisasi berlangsung dan meluas hingga
mencaplok lahan-lahan pertanian yang sudah tidak berdaya itu.
Urbanisasi dan bekerja sebagai buruh
pabrik menjadi tren baru bagi rakyat Indonesia.
Pola ini berdampak pada mobilitas horizontal masyarakat yang cukup
tinggi. Imajinasi baru terbentuk di
benak para urban, kehidupan desa dianggap sebagai masa lalu yang tradisional,
sementara kehidupan kota dianggap sebagai gaya hidup modern yang membanggakan. Imajinasi ini menjadi pembunuh sadis bagi
karakter bangsa yang masih sangat rapuh.
Anak-anak desa yang sedang tumbuh
mencari sesuatu berbondong-bondong ke kota untuk mendapatkan pekerjaan yang
layak bagi penghidupannya. Kota menjadi
penuh sesak, dan desa menjadi kosong karena ditinggalkan penghuninya.
Keterbatasan pendidikan dan
ketrampilan para urban menjadi masalah baru di setiap kota tujuan. Semakin
menyempitnya lapangan kerja karena banyaknya penyerbu kawasan itu memunculkan
masalah sosial seperti, munculnya kawasan kumuh, kerawanan sosial, seperti tindak
kejahatan, dan perbuatan-perbuatan asusila.
Ketika kota-kota tidak lagi dapat
menampung mereka dengan segala harapannya, sementara kampung tidak lagi memberi
harapan, maka pilihan berikutnya adalah berimigrasi ke negeri seberang. Kawasan
Arab, Korea, Jepang, Malaysia, Singapura, menjadi impian baru bagi pemenuhan
hajat ekonomi. Tidak apalah walau menjadi buruh kasar, pembantu rumah tangga
atau pekerja seksual, asal dapat membawa uang ketika pulang. Masya Allah.
Pemerintah yang memang sudah salah
dalam mengambil kebijakan dengan membunuh pertanian di pedesaan dan tidak lagi
mampu menyediakan lapangan kerja di dalam negeri menjadikan keinginan imigran
menjadi solusi untuk mengatasi penumpukan jumlah pengangguran yang semakin
membengkak dari hari ke hari.
Maka berbondong-bondonglah imigran ini
meninggalkan tanah air menuju ke negeri baru baik dengan cara yang resmi maupun
menjadi imigran gelap. Pemecahan masalah yang menimbulkan banyak masalah. Keberadaan
tenaga kerja dengan pendidikan rendah membuat mereka tidak memiliki harga diri
di negeri tujuan. Pembantu rumah tangga atau menjadi pekerja kasar menjadi jasa
unggulan yang dapat mereka jual untuk mendapatkan uang.
Perbedaan kultur negara tujuan dengan
negara asal sering kali membawa masalah dalam hubungan kerja yang menimbulkan
gesekan dan kezaliman pada sebagian tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Sementara
pembelaan dari pemerintah terasa sangat lemah dan lebih cenderung tidak berdaya
di tengah ketidakberdayaan rakyatnya di negeri imigran.
Tenaga kerja imigran ini banyak
mendatangkan devisa bagi negara dan nilai ekonomis yang tinggi bagi para
pekerja itu sendiri namun sekaligus membawa masuk infiltrasi budaya asing yang
destruktif bagi kelangsungan budaya desa yang religius. Apalagi saat ini Istilah “ekonomi kerakyatan”
kembali popular akhir akhi. Hampir setiap Capres-Cawapres yang bersaing pada
tahun ini mengklaim dirinya akan menerapkan sistem ekonomi kerakyatan. Rakyat
menjadi kata yang sakral. Sakral bagi penguasa maupun oposannya. Konstitusi
Negara ini menandaskan bahwa salah satu tujuan pembangunan nasional adalah
memajukan kesejahteraan rakyat.
Apa persoalan
mendasar dalam ekonomi di Indonesia saat ini? Pandangan kapitalis yang disusung
kelompok “kanan-baru” loyalitas Adam Smith merumuskan bahwa inti persoalan
ekonomi terletak pada masalah produksi. Yakni terbatasnya sumberdaya yang
diperlukan, sedangkan keinginan manusia tak ada batasnya. Selain faktor sumber
dayanya, sistem dan corak pemerintahannya yang berkuasa sangat menentukan warna
perekonomian yang dianut di negeri ini.
Namun, pada zaman
Bung Hatta sebetulnya telah meletakkan dasar-dasar sistem ekonomi Indonesia
yang sangat pro rakyat, yaitu melalui sistem koperasi dengan asas kekeluargaan
dan nilai-nilai pancasila sebagai dasarnya. Sayangnya sistem yang sudah
dirintis oleh Bung Hatta itu tidak dilanjutkan dengan baik.
Nah, di sinalah
ekonomi Islam mendapatkan celahnya. Indonesia pada masa yang akan datang dengan
penuh optimis bahwa sistem ekonomi Islamlah satu satunya solusi yang ampuh dan
steril dari semua krisis ekonomi. Mengapa? karena ekonomi Islam memiliki konsep
dalam mengatasi krisis keuangan.
Ekonomi Islam
sebenarnya bisa menjadi fondasi ekonomi kerakyatan untuk mencapai Indonesia
yang lebih sejahtera. Geliat perekonomian rakyat dalam era reformasi tidak sama
sekali terpuruk meski dalam masa krisis ekonomi dan pemulihan yang melanda
sejak pertengahan 1997 lalu. Hal ini tampak dari menjamurnya lembaga-lembaga
keuangan syariah pada dekade 90-an. Misalnya lahirnya Bank Muamalat pada tahun
1992, diikuti dengan sejumlah BPR Syariah telah membuktikan bahwa sistem
syariah dapat bertahan san selamat dari terjangan badai krisis.
Setelah itu
giliran lembaga syariah yang berkhidmat pada pasar mikro dan usaha kecil
seperti Baitul Mal wat Tamwil (BMT) bermunculan dengan menawarkan program
pemberdayaan ekonomi rakyat yang tak tersentuh oleh perbankan konvensional. Kehidupan
pengusaha mikro kian mendapatkan kemudahan dengan tersediannya akses
mendapatkan dana pinjaman modal untuk melanggengkan usahanya.
Hampir di setiap
lembaga ekonomi syariah teersebut para nasabahnya adalah kalangan bawah (dhuafa)
dan bisa mendapatkan pinjaman bersifat qordhul hasan. Artinya mereka dapat
meminjam dana produktif untuk dikembangkan dengan pengembalian lunak tanpa dibebani
dana bagi hasil. Hal inilah yang membuat lembaga ekonomi syariah mendapat
tempat di hati mereka. Mereka tidak lagi dihantui beban bunga yang mencekik
sebagaimana kerap terjadi pada sistem ekonomi konvensional. Ekonomi Syariah
memberikan secercah harapan baru bagi tumbuh kembangnya bidang ini Hal ini
karena keduanya memiliki kesamaan yang kuat.
Ekonomi Islam dan
ekonomi kerakyatan sebetulnya sama-sama memiliki tujuan untuk menciptakan
kesejahteraan rakyat bersama. Bahkan Negara-negara non muslim sudah membuka
diri untuk menggunakan sistem ekonomi Islam. Sebagai umat Islam,hendaknya kita
segera keluar dari sistem konvensional dan kembali kepada sistem ekonomi Islam.
Wal-Lâhu A’lamu bish-Shawâb...